SATYABERITA – Pusat Pengembangan Kompetensi (Pusbangkom) Sekretariat Jenderal DPR RI bekerja sama dengan Parakerja menyelenggarakan Pelatihan Sensitivitas Disabilitas dan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO).
Kegiatan ini digelar dalam rangka meningkatkan kompetensi sumber daya manusia agar lebih inklusif terhadap penyandang disabilitas yang berlangsung di Command Center DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (19/5/2025).
Sebanyak 22 peserta mengikuti pelatihan yang dirancang untuk membekali mereka dengan pemahaman etika dalam berinteraksi dengan berbagai ragam disabilitas.
Menariknya, seluruh materi pelatihan disampaikan langsung oleh para narasumber yang merupakan penyandang disabilitas, seperti disabilitas mental, netra, dan Tuli. Selama pelatihan, aksesibilitas bahasa isyarat juga tersedia guna menunjang komunikasi inklusif.
Rezki Achyana, penyandang disabilitas mental yang juga CEO Parakerja, membuka sesi dengan menyampaikan materi mengenai konsep keberagaman, inklusivitas, sensitivitas disabilitas, serta etika pelayanan terhadap penyandang disabilitas.
“Ini adalah fondasi yang harus dimiliki bagian pelayanan Pusbangkom DPR RI saat bertemu dengan disabilitas,” ujar Rezki.
Salah satu sesi yang paling berkesan adalah pelatihan orientasi mobilitas dan pendampingan disabilitas netra yang dibawakan oleh Dian Hendriyani, seorang penyandang low vision.
Dalam sesi ini, peserta diajak merasakan pengalaman berjalan dengan mata tertutup dan menggunakan tongkat, guna memahami tantangan yang dihadapi disabilitas netra.
Pelatihan ditutup dengan sesi Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) yang disampaikan secara penuh dalam bahasa isyarat oleh Hastu Wijaya dan Tri Erwinsyah, dua pelatih Tuli.
“Ini adalah pertama kalinya saya mengikuti pelatihan yang benar-benar tanpa suara, karena langsung dilatih oleh Tuli dengan bahasa isyarat,” ujar salah satu peserta.
Menurut Hastu, BISINDO lebih mudah dipahami oleh komunitas Tuli karena menyerupai bahasa isyarat alami yang mereka gunakan sejak kecil. “BISINDO lebih ringkas, tidak memerlukan kata baku berimbuhan, dan bisa dipersingkat selama maknanya tidak berubah,” jelasnya.
Hastu juga menekankan pentingnya memahami konsep audisme, yaitu pandangan bahwa menjadi orang dengar lebih baik daripada menjadi Tuli.
“Audisme bisa menyebabkan diskriminasi dan prasangka, serta menghambat kemauan untuk mengakomodasi kebutuhan Tuli. Ini yang harus kita hindari,” tegasnya.
Diharapkan melalui pelatihan ini, Pusbangkom DPR RI dan Parakerja berharap dapat menumbuhkan kesadaran dan kepekaan terhadap isu disabilitas, serta mendorong pelayanan publik yang lebih inklusif dan bebas dari diskriminasi.
Komentar0