TpOlTfrpTSY5BUO8BSd8Tfr0Gi==

Stagnasi Ekonomi dan Lonjakan Pengangguran

Oleh Achmad Fachrudin
Akademisi dari Universitas PTIQ

Janji Presiden Prabowo Subianto saat kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024, yang akan mendongkrak  pertumbuhan ekonomi 8 persen jika dirinya terpilih menjadi presiden, mampu membuka lapangan kerja baru serta mengatasi problem pengangguran, sejauh ini sebatas manis di bibir.  Sementara realitasnya masih ‘jauh panggang dari api’.

Berdasarkan data dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia 5 Mei 2025, Produk Domestik Bruto (PDB)  diperkirakan tumbuh 4,96% (rentang estimasi 4,94%-4,98%) pada Triwulan-III 2024, 5,00%-5,05% untuk FY2024, dan 5,0%-5,1% untuk FY2025. Pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat dari 5,11% (y.o.y) di Triwulan-I 2024 ke 5,05% (y.o.y) di Triwulan-II 2024, didorong oleh pertumbuhan belanja Pemerintah yang melambat secara drastis walaupun ada faktor musiman.

Dari jumlah tersebut, 11 dari 17 sektor perekonomian mengalami perlambatan pertumbuhan di Triwulan-II 2024 dibandingkan triwulan sebelumnya dan sebagian besar sektor yang mengalami peningkatan pertumbuhan lebih dipengaruhi oleh faktor musiman. Hal ini  Berkontribusi terhadap 53% dari total aktivitas ekonomi, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,93% (y.o.y) di Triwulan-II 2024, sedikit meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 4,91% (y.o.y), didorong oleh berbagai periode libur nasional.

Sementara pada 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, perekonomian Indonesia pada kuartal satu 2025 tumbuh di bawah 5 persen. Selama tiga bulan perdana 2025 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 4,87 persen melambat dibanding kuartal sebelumnya yang masih tumbuh 5,02 persen. Meskipun trend pelambatan tersebut bukan hanya dialami oleh Indonesia karena senyatanya juga dialami oleh sejumlah negara. termasuk negara maju. Jepang misalnya.

Laporan dari Macenews  memperkirakan, ekonomi Jepang mungkin mencatat kontraksi pertama dalam empat kuartal pada kuartal Januari-Maret 2025, dengan penurunan sebesar 0,1% kuartal ke kuartal atau 0,4% secara tahunan. Hal serupa dialami juga oleh Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam pada kuartal pertama 2025 menurun 0,3 persen bila dibandingkan dengan kuartal yang sama pada tahun sebelumnya. Pada kuartal keempat 2024, perekonomian Amerika Serikat tumbuh 2,4%. Perlambatan ekonomi Amerika Serikat ditenggarai karena kebijakan tarif yang agresif dilakukan Presiden Donald Trump.

Dalam penilaian Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), perlambatan pertumbuhan ini menjadi alarm bagi ekonomi nasional ke depan. INDEF kemudian memberikan delapan catatan kritis. Diantaranya, Indonesia rentan terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi global. International Monetary Fund (IMF) mencatat perlambatan ekonomi global ke 2,8% dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,3% untuk tahun 2025 yang menandai fase stagnasi dunia usai dilanda krisis.

Selain itu, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2025 berada di bawah ancaman stagnasi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi 4,87% yoy menjadi alarm keras ‘early warning’, dimana narasi optimisme pemerintah tidak lagi berakar pada realitas. INDEF menegaskan, pelemahan tidak hanya terjadi akibat akibat dinamika global, tetapi lebih pada terjadinya kegagalan domestik melakukan transformasi struktural.

Penutupan Perusahaan

Stagnasi pertumbuhan ekonomi berdampak terhadap tutupnya sejumlah perusahaan besar atau pabrik sejak awal 2025.  Diantaranya Sritex Group dan mem-PHK sekitar 10.665 karyawan pada Januari-Februari 2025; Yamaha Music: beberapa pabrik Yamaha melakukan penutupan dan PHK, seperti PT. Yamaha Music Product Asia di MM2100, Bekasi (400 karyawan) dan PT Yamaha Indonesia di Pulo Gadung, Jakarta (700 karyawan); Sanken Indonesia: Perusahaan ini juga mengalami PHK terhadap 900 karyawannya.

Kemudian pabrik pengolahan kelapa, PT Pulau Sambu atau Sambu Group juga melakukan PHK 1.800 pekerja:  PT Victory Ching Luh: Mem-PHK 2.000 karyawan.  Badai PHK massal 2025 turut menggasak industri media, mulai dari Kompas TV, CNN Indonesia, hingga MNC Group. Ini belum termasuk perusahaan menengah dan kecil yang juga banyak yang bankrut namun terekspos ke publik.

Banyak penyebab penutupan pabrik dan kemudian PHK yang totalnya tak kurang 24.000 karyawan. Diantaranya  akibat kondisi ekonomi, penurunan permintaan, atau masalah internal perusahaan; melemahnya daya beli; persaingan dengan produk impor; perubahan strategi perusahaan dengan langkah melakukan relokasi: Mencarikan lokasi dengan biaya upah yang lebih murah atau aman dari premanisme; transformasi bisnis: mengalihkan fokus ke sektor lain, seperti semikonduktor (contoh Sanken); penghentian produksi: jika terus mengalami kerugian, seperti kasus PT Sanken; efisiensi: perusahaan memangkas biaya dengan mengurangi jumlah pekerja; pailit: perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan dinyatakan bangkrut, dan sebagainya.

Dalam pandangan Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, biang kerok tumbangnya industri padat karya dan menimbulkan pada PHK karyawannya pada awal 2025,  diantaranya karena faktor permintaan dalam negeri melemah dengan ditandai daya beli yang melambat di tahun lalu; menurunnya permintaan dalam negeri juga dinilai berkaitan erat dengan gempuran produk impor akibat aturan yang lesu; adanya faktor membuat ekspansi dunia usaha Indonesia terhambat adalah penurunan permintaan global imbas adanya perang dan ketegangan geopolitik.

Pengangguran Membludak

Tumbungnya sejumpah perusahaan swasta atau pabrik besar menimbulkan membengkaknya jumlah PHK. Muaranya jumlah pengangguran makin meningkat.  Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengungkapkan, jumlah pengangguran di Indonesia meningkat menjadi 7,28 juta orang per Februari 2025. Pada periode yang sama, total angkatan kerja bertambah 3,67 juta orang menjadi 153,05 juta jiwa. 

Dari angkatan kerja tersebut, tidak semua terserap di pasar kerja, sehingga terdapat jumlah orang yang menganggur sebanyak 7,28 juta orang. Dibandingkan dengan Februari 2024, per Februari 2025, jumlah orang yang menganggur meningkat sebanyak sekitar 0,08 juta orang atau 83 ribu orang, naik kira-kira 1,11 persen.

Meski jumlah pengangguran bertambah, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) justru menurun. Per Februari 2025, TPT tercatat 4,76 persen, lebih rendah dibandingkan Februari 2024 yang sebesar 4,82 persen. Secara gender, TPT perempuan turun sebesar 0,19 persen menjadi 4,41 persen dari sebelumnya 4,6 persen. Sebaliknya, TPT laki-laki sedikit naik sebesar 0,02 persen menjadi 4,98 persen dari 4,96 persen. Jika dilihat berdasarkan wilayah, TPT di perkotaan turun dari 5,89 persen menjadi 5,73 persen. Di pedesaan, TPT menurun dari 3,37 persen menjadi 3,33 persen. “enurunan tingkat pengangguran terbuka juga konsisten terjadi di wilayah perkotaan maupun pedesaan.

Tingginya tingkat pengangguran di Indonesia mendapat perhatian (sorotan tajam), sejumlah lembaga internasional. Diantaranya Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF). Lembaga ini  memprediksi tingkat pengangguran Indonesia pada 2025 mencapai 5 persen. Angka ini menjadi yang tertinggi kedua di Asia setelah Cina yang diproyeksi sebesar 5,1 persen tahun ini. Berdasarkan laporan World Economic Outlook edisi April 2025, IMF mencatat tren pengangguran atau unemployment rate di Tanah Air terus naik. Pada 2024 sebesar 4,9 persen dan tahun ini menjadi 5,0 persen dan 2026 diprediksi bakal mencapai 5,1 persen. Sedangkan pengangguran Cina sejak 2024 hingga 2026 stagnan di level 5,1 persen.

IMF tak menjelaskan detail alasan proyeksi tingkat pengangguran di Indonesia pada tahun ini naik dibandingkan tahun lalu. Namun, menurut lembaga itu, perekonomian global pada tahun 2024 yang mulai terlihat stabil setelah melewati masa pandemik Covid 19, belakangan kembali bergejolak sejak penerapan tarif impor oleh Amerika Serikat pada 2 April 2025.

Butuh Bukti Bukan Orasi

Penutupan sejumlah perusahaan yang berdampak kepada PHK dan membengkaknya angka pengangguran, menimbulkan pertanyaan kritis mengenai siapa atau pihak yang mesti terdepan bertanggungjawab? Jawabannya tidak lain dan tidak bukan adalah pemerintah pusat. Karena saat ini, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto, maka presiden secara otomatis merupakan orang pertama yang paling bertanggungjawab.

Mengenai strategi, cara atau  langkah yang paling taktis, efektif, dan efisien guna mewujudkan janji-janji presiden tersebut dan menjawab tantangan ekonomi dan dunia kerja,  tentu presiden dianggap paling tahu. Apalagi jumlah kementerian dan para Menteri dan atau Wakil Menteri yang bisa membantu Presiden Prabowo memecahkan problem yang dihadapi,  jumlahnya membengkak hingga mencapai 107 orang. Jauh lebih besar dibandingkan  dengan periode sebelumnya (Presiden Joko Widodo) yang hanya 34 orang menteri.  Jika kinerja  kabinet Prabowo buruk atau biasa-biasa saja (mediocare), sama saja dengan “besar pasak daripada tiang”.

Jika pada kenyataannya sampai usia pemerintahan Prabowo sudah lebih 7 bulan dianggap banyak kalangan belum sepenuhnya berhasil mrealisasikan janji-janjinya, harus segera melakukan introspeksi dan koreksi diri mengenai kualitas personal, kualitas kepemimpinan, kualitas manajemen tata kelola dan kelembagaan, kualitas sumber daya manusia, dan sebagainya. Bahkan jika perlu melakukan reshufle terhadap Menteri atau Wakil Menteri yang dianggap tidak bisa melaksanakan tugasnya. Daripada jadi benalu atau bandul  Kabinet Prabowo.   

Salah satu yang penting dibenahi adalah kepemimpinan dan gaya komunikasi Prabowo. Ke depan sudah saatnya Prabowo “Jangan terlalu banyak bernarasi, berpidato, orasi atau retorika, apalagi melakukan pencitraan serta manuver poltik yang out of proportional. Karena saat ini bukan lagi masa kampanye.  Melainkan saatnya melakukan eksekusi program kerja secara cerdas, konkrit, dan konsisten”. Sebab masyarakat kini butuh bukti. Tidak lagi butuh janji. Apalagi retorika. Karena kondisi objektif ekonomi serta lapangan kerja makin parah dan kondisi psikologis masyarakat mulai diambang ‘krisis kepercayaan’.***

Komentar0

Type above and press Enter to search.