TpOlTfrpTSY5BUO8BSd8Tfr0Gi==

Tukang Sihir Kepemimpinan


Oleh: dr. Marhali
Pengamat Kebijakan publik

SATYABERITA - Salah satu kekuatan media adalah mempublikasi yang privat sebagai "keterwakilan" publik. Contoh, seorang figur publik melalui setting beberapa momentum kedermawanan, memberi uang atau makan pengemis dan fakir miskin, dengan setting dramatis, menjadi seolah perilaku dermawan itu telah menyentuh atau mendistribusi bantuan itu kepada seluruh publik yang menontonnya melalui media sosial. 

Maka timbul kemudian peng-idolaan yang terencana dalam sebuah agenda setting yang tidak mewakili realitas sesungguhnya tentang kemiskinan. Ambil contoh di Jawa Barat. Jumlah penduduk miskin ada 3,67 juta orang. Seolah-olah tampilan Gubernurnya melalui medsos dg memberi uang atau bantuan kepada warga miskinnya seolah-olah "menyihir" kesadaran massa seperti sudah menyelesaikan persoalan kemiskinan. 

Kalau pun tiap hari sang pemimpin meng-upload di media sosial sekali sehari bantuan sosial kepada satu orang miskin, maka realitasnya sebenarnya hanya 365 orang yang terjangkau drama filantropi itu dalam setahun. Atau kita tambah menjadi 3 orang sehari (pagi, siang dan sore), maka hanya 1.095 orang dalam setahun (5.475 orang per-lima tahun) tindakan privat itu mengatasi persoalan sesaat warga yang menjadi sasaran. Lalu bagaimana dengan 3,67 juta lainnya? Dan, hanya berapa hari uang satu dua juta rupiah bisa mengatasi persoalan struktural kemiskinan yang mereka hadapi hampir sepanjang hidupnya? 

Sihir media ini bisa menenggelamkan sebuah bangsa. Karena itu, hampir setiap proses politik atau penguasaan dan perebutan negara media massa, sekarang media sosial, selalu menipu realitas. Menyedihkannya, dari manipulasi realitas itu adalah "mempermainkan" nasib si miskin.

Kita sudah punya pengalaman sebenarnya tentang manipulasi realitas itu dari sejarah kepemimpinan nasional. Drama gorong-gorong, IKN, dll, termasuk BLT telah melumpuhkan nalar publik. Bahkan ketika "pemimpin" yang telah menguasai, menganut dan pengguna ilmu sihir media itu melanggar undang-undang bahkan UUD, seluruh argumen "seolah-olah" rasional dikerahkan untuk melindungi penganut ilmu sihir itu. 

Lalu bagaimana cara melawannya? Ya, gunakan data. Tampilkan data-data sebagai realitas. Data-data yang menggambarkan realitas sesungguhnya harus ditampilkan berulang-ulang. Termasuk opini yang berbasis data harus "di pabrikasi" secara berulang oleh kelompok-kelompok rasional, khususnya kalangan intelektual dan mahasiswa yang mempercayai fakta ketimbang sihir. 

Abdullah bin Mas'ud dan Abu al Asy'ari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Sungguh, menjelang kiamat ada masa-masa di mana kebodohan diturunkan dan ilmu diangkat serta banyak terjadi al-harraj (pembunuhan)." (HR Bukhari dan Muslim). 

Dan jika sudah banyak orang yang lebih banyak bercaya pada sihir ketimbang realitas, maka itulah tanda diturunkannya kebodohan dan ilmu telah diangkat. 

Komentar0

Type above and press Enter to search.