TpOlTfrpTSY5BUO8BSd8Tfr0Gi==

Jika Sejarah Ditulis Ulang Tanpa Kejujuran, Maka Kebangsaan Kita Berdiri di Atas Kedustaan.

                Foto: Adjie Putra Wijaya

SATYABERITA - Ada yang menggelisahkan dalam wacana “penulisan ulang sejarah” yang kini digaungkan oleh pemerintah, khususnya oleh Kementerian Kebudayaan. Atas nama pembaruan narasi kebangsaan, proyek ini terdengar mulia di permukaan. Tapi ketika ditelisik lebih dalam, pertanyaan-pertanyaan mendasar mulai muncul, sejarah versi siapa yang sedang dirumuskan? Fakta yang mana yang dipilih, dan mana yang dihapus? Siapa yang diberi suara, dan siapa yang kembali dibungkam?

Dalam dinamika kebangsaan yang mestinya beradab, sejarah adalah fondasi intelektual yang tidak bisa ditawar keotentikannya. Ia seharusnya lahir dari ketekunan menelusuri jejak-jejak realitas, bukan dari meja rapat birokrat yang lebih sibuk menata citra daripada menggali kebenaran. Jika sejarah diperlakukan sebagai instrumen legitimasi kekuasaan, maka apa yang disebut “pembangunan nasional” tak lebih dari pembangunan di atas kebohongan.

Sejarah: Antara Ingatan dan Kepentingan
Michel-Rolph Trouillot, dalam karyanya Silencing the Past, menulis bahwa kekuasaan tidak hanya bekerja dalam penindasan fisik, tetapi juga dalam “siapa yang diberi kesempatan untuk diingat.” Sejarah, kata Trouillot, bukan hanya tentang apa yang terjadi, tetapi tentang siapa yang memiliki kuasa untuk menceritakannya.

Contohnya ada di depan mata. Kita tahu bagaimana sejarah 1965 masih ditulis dengan satu warna, meski arsip dan kesaksian menunjukkan kompleksitas tragedi itu. Pemerintah melalui buku-buku resmi, sejak Orde Baru hingga kini, tetap menyajikannya sebagai narasi tunggal tentang “penumpasan PKI,” tanpa pernah benar-benar membuka ruang bagi suara para penyintas atau menggali keterlibatan aktor negara dalam kekerasan massal.

Kita juga menyaksikan bagaimana peran tokoh-tokoh seperti Tan Malaka, Sutan Sjahrir, dan Amir Sjarifuddin direduksi atau dihapus sama sekali dari buku pelajaran. Mereka tak pernah masuk dalam imajinasi “pahlawan” versi negara, meskipun kontribusinya pada republik sangat fundamental. Mengapa? Karena mereka tidak cocok dengan narasi dominan, entah karena terlalu kiri, terlalu bebas, atau terlalu berani berbeda.

Dan kini, dengan proyek penulisan ulang sejarah kebangsaan, kekhawatiran yang sama muncul, jangan-jangan ini hanya rebranding sejarah resmi, dengan wajah yang lebih modern, tapi tetap mengabaikan keragaman narasi dan keberanian untuk membuka luka sejarah bangsa.

Narasi Tunggal adalah Cermin Negara yang Takut Diri
Proyek sejarah negara yang hanya merayakan kemenangan dan mengabaikan kegagalan adalah bentuk penaklukan ingatan. Ia merampas hak generasi muda untuk memahami bangsanya secara utuh dengan segala kebesaran dan cacatnya. Padahal, membangun bangsa yang beradab tidak bisa dilakukan dengan memalsukan masa lalu.

Kita tidak butuh sejarah yang dibersihkan dari konflik. Kita butuh sejarah yang jujur. Yang berani bicara tentang Papua, tentang kekerasan negara di masa Orde Baru, tentang marginalisasi masyarakat adat, atau tentang peran perempuan yang selama ini ditutup-tutupi. Sejarah yang hidup bukan yang disahkan pemerintah, tetapi yang terus diperdebatkan, dikritik, dan dilengkapi oleh warganya.

Kita perlu mengingat apa yang dikatakan sejarawan Pramoedya Ananta Toer, “Orang yang tak bisa menghargai sejarah, tak lebih dari daun yang tak tahu ia bagian dari pohon.” Tapi bagaimana mungkin kita bisa menghargai sejarah kalau negara sendiri memilih untuk menyembunyikannya?

Kementerian Kebudayaan Harus Diawasi, Bukan Disembah
Jika Kementerian Kebudayaan sungguh-sungguh ingin menulis ulang sejarah, langkah pertama yang harus diambil adalah meruntuhkan tembok eksklusivitas. Jangan hanya menggandeng akademisi kampus dan birokrat budaya libatkan masyarakat adat, sejarawan akar rumput, komunitas korban pelanggaran HAM, penulis alternatif, dan anak-anak muda yang berani bertanya “Mengapa versi ini yang selalu diajarkan?”

Sejarah tidak akan pernah tuntas. Tapi selama ia dibuka untuk partisipasi dan kritik, ia akan tetap sehat. Negara tidak berhak merasa paling tahu tentang masa lalu, apalagi jika rekam jejaknya sendiri penuh noda. Kita berhak curiga, berhak bertanya, dan yang paling penting — berhak menulis sejarah kita sendiri.

“Sejarah yang ditulis tanpa kejujuran bukanlah pelajaran, tapi propaganda. Dan bangsa yang dibesarkan dengan propaganda tidak akan pernah dewasa. Ia akan terus hidup dalam ilusi kejayaan, padahal yang sesungguhnya ia pelihara adalah ketakutan menghadapi kebenaran.”

Adjie Putra Wijaya
Aktivis Mahasiswa Paramadina

Komentar0

Type above and press Enter to search.