Dibanding penggawa Jakarta sebelumnya, Gubernur Jakarta Pramono Anung dan Wakil Gubernur DKI, Rano Karno (Pram-Doel) boleh dikatakan dua sosok paling vokal dan mempunyai political will kuat untuk memajukan masyarakat dan kebudayaan Betawi saat kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) DKI 2024.
Oleh Achmad Fachrudin
Akademisi dari Universitas PTIQ Jakarta
Begitupun setelah terpilih menjadi Gubernur dan wakil Gubernur DKI, pada 100 hari pertama pemerintahannya sudah menggenjot dan melaksanakan secara nyata berbagai program kerja guna memajukan masyarakat dan kebudayaan Betawi.
Agar berbagai gebrakan dan program Pram-Doel dalam memajukan masyarakat mewujud dan bermuara kepada yang diharapkan, yakni: pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan Betawi sebagai bagian dari upaya pemajuan kebudayaan secara keseluruhan.
Atau dalam frasa ringkas dapat mengantarkan dan menjadikan etnis Betawi sebagai 'tuan rumah' di negerinya sendiri.
Hal tersebut menuntut dan memaksa masyarakat, tokoh Betawi dan terutama Organisasi Kemasyarakatan Betawi harus solid, siap serta berada di garda terdepan.
Terlebih, sebagaimana dikatakan Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR) KH Lutfi Hakim, Rabu, 26 Maret 2025, indeks pembangunan kebudayaan Jakarta 2023 memperlihatkan persentase yang rendah di tiga indikator.
Ketiga indikator itu berhubungan erat dengan kebudayaan di antaranya, ekonomi budaya, warisan budaya, dan ekspresi budaya.
Ekonomi budaya dengan dimensi 14,59 persen, warisan budaya 48,56 persen dan ekspresi budaya di angka dimensi 21,28 persen.
Meskipun tinggi di pendidikan 79,2 persen ketahanan sosial budaya 71,79 persen dan budaya literasi 70 sampai 58 persen.
Belum Maintream
Di luar yang disampaikan tokoh Betawi dari FBR tersebut, secara faktual dan empirik kebudayaan Betawi yang demikian kaya dengan ragam jenis dan coraknya belum menjadi kebudayaan mainstream.
Sebagai contoh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mewajibkan lembaga penyiaran televisi swasta untuk menyiarkan konten lokal, dengan proporsi minimal 20 persen dari total waktu siaran.
Tujuannya untuk melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai lokal serta kearifan budaya bangsa.
Faktanya, tidak seperti yang diamanatkan UU Penyiaran. Masyarakat Jakarta belum dapat menikmati siaran kebudayaan Betawi secara memadai.
Contoh lain, di Jakarta orang masih kesulitan untuk menemukan, memperoleh atau membeli kuliner khas dan asli Betawi yang lengkap karena ketiadaan semacam sentra/pusat jajan dan kerajinan Betawi miminal di satu lokasi 6 wilayah Kabupaten/Kabupaten Jakarta.
Hal ini berbeda jika masyarakat lokal atau turis datang ke Bali atau Jogyakarta, dengan mudah menemukan pusat jajan atau pusat kerajinan setempat.
Bahkan para tour guidenya, tanpa diminta akan mengantarkan para turis ke pusat jajan atau kesenian Bali atau Jogya.
Sementara kantor-kantor di lingkungan Pemprov DKI, hotel, restoran, mall, pasar tradisional, atau kantong-kantong pemukiman penduduk juga masih langka menyajikan kuliner, kerajinan dan kebudayaan Betawi.
Kalaupun ada dilakukan secara insidental. Padahal jika hal tersebut dilakukan secara rutin dengan pendekatan affirmative action oleh Pemprov DKI minimal di lingkungan Pemprov DKI.
Misalnya, setiap ada acara resmi di lingkungan Pemprov wajib menyediakan hiburan atau kuliner khusus Betawi, multiflier effectnya secara budaya, sosial, dan ekonomi, akan sangat besar.
Di sisi lain, pusat perkampungan Betawi di Setu Babakan, Jakarta Selatan, yang telah ditetapkan sebagai Perkampungan Budaya Betawi, pengelolaan dan fasilitas yang tersedia masih belum sepenuhnya maksimal sehingga hasilnya juga belum optimal.
Seperti lahan perparkiran yang masih terbatas, kurangnya kebersihan, tata kelola yang belum tertata dengan baik, ketersediaan souvenir dan kuliner Betawi yang lengkap, minimnya fasilitas yang mendukung kegiatan budaya.
Di atas itu semua, desain Perkampungan Betawi di Setu Babakan belum sepenuhnya mampu mengakomodasi dan mencerminkan suasana kebatinan akan kebetawian bagi pengunjungnya.
Perbandingan Daerah Lain
Salah satu pekerjaan rumah yang sekaligus menguji soliditas tokoh-tokoh Betawi adalah terkait Lembaga Adat yang sudah diamanatkan oleh UU No. 2 tahun 2022 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Institusi Adat ini tampaknya menjadi solusi kunci guna menjawab berbagai masalah dan kendala serta kebuntuan dalam pemajuan masyarakat dan Kebudayaan Betawi.
Dalam konteks ini, harus diakui masyarakat Betawi tampaknya tertinggal dengan sejumlah daerah lainnya.
Seperti ditulis Rasminto dalam artikelnya bertajuk “Pelembagaan Adat Betawi Sebagai Pilar Ketahanan Budaya Jakarta”, 19 Juni 2024, keberadaan lembaga adat Betawi belum memperoleh pengakuan struktural yang setara dengan lembaga adat di berbagai provinsi lain di Indonesia.
Jika dibandingkan, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki Kraton yang secara resmi diakui sebagai bagian dari struktur pemerintahan daerah, dengan fungsi kultural sekaligus politis yang sah.
Bahkan, Kraton menjadi simbol kekuasaan dan pengikat identitas warga Yogyakarta yang terus hidup di tengah modernitas.
Contoh lainnya, tulis Rasminto, dapat dilihat di Sumatera Barat, di mana sistem Nagari dan Kerapatan Adat Nagari (KAN) menjadi tulang punggung dalam tata kelola masyarakat dan ruang hidup.
Di Bali, keberadaan Majelis Desa Adat (MDA) menunjukkan bagaimana lembaga adat tidak hanya dilestarikan, tetapi diperkuat secara institusional.
MDA Bali diakui dalam kerangka hukum daerah dan nasional sebagai otoritas adat yang memiliki kewenangan dalam pelestarian budaya, pengelolaan desa adat, hingga mediasi konflik sosial.
Begitu pula di Kalimantan, lembaga adat Dayak diberi perlindungan hukum dan kepercayaan dalam pengelolaan wilayah adat, termasuk dalam isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Semua ini membuktikan bahwa pengakuan terhadap lembaga adat mampu memperkuat partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan yang berakar pada kearifan setempat.
Ironisnya, Jakarta ketika yang seharusnya menjadi mercusuar inklusivitas dan representasi Indonesia dalam keragaman, belum memberi tempat yang bermartabat bagi lembaga adat Betawi.
Tidak adanya pengakuan formal terhadap lembaga adat Betawi membuat etnis asli Jakarta ini, masih menurut Rasminto yang merupakan Akademisi Prodi Pendidikan Geografi Universitas Islam 45 (Unisma), Direktur Eksekutif Human Studies Institute dan Anggota Pusat Pendidikan Wawasan Kebangsaan, belum dapat memainkan peranan strategis dalam sistem sosial dan politik kotanya sendiri.
Model LAB
Pertanyaan menggelitiknya sekarang, bagaimana kira-kira model MDA yang tepat dan sesuai dengan amanat UU No. 2 tahun 2022 tetang DKJ yang mengamanatkan mendorong penguatan peran Lembaga Adat Betawi (LAB) dalam pelestarian dan pengembangan budaya?
Tentu masing-masing orang, khususnya para tokoh, sarjana, akademisi dan sebagainya dari etnis Betawi atau mereka yang peduli dengan Kebudayaan Betawi, mempunyai sudut pandang tersendiri.
Tetapi hendaknya, berbagai pluralitas pandangan tersebut harus dimusyawarahkan dan dikerucutkan kepada suatu kesimpulan yang mengarah kepada penguatan LAB.
Dengan tetap mengapresiasi berbagai pandangan dan masukan dari berbagai kalangan tentang model LAB, hemat penulis LAB harus didesain menjadi wadah tunggal, tertinggi (semacam Majelis Tinggi pada Partai Politik Demokrat), memiliki kekuasaan powerful, dengan keanggotaan merupakan representasi dari Organisasi Kemasyaratan (Ormas) Betawi.
Serta perwakilan dari Pejabat teras di Pemprov DKI (ex officio) serta perwakilan dari petinggi di DKJ lainnya, seperti dari Pimpinan DPRD DKI (bisa ex officio), TNI atau Polri. Tujuanya tak lain, agar LAB benar-benar menjadi institusi yang powerful, efektif, representatif, berwibawa dan disegani.
Dengan model LAB semacam itu, maka konsekwensinya pengelolaan organisasi menjadi sangat sentralistik.
Termasuk pengelolaan anggaran organisasi maupun dana abadi kebudayaan dari Pemprov DKI Jakarta untuk mendukung kegiatan pemajuan dan pelestarian kebudayaan Betawi, termasuk seni, tradisi, bahasa, dan nilai-nilai budaya lainnya.
Seperti diamanatkan UU DKJ, pengaturan lebih lanjut dan detail tentang LAB, dana abadi kebudayaan, program, kegiatan, anggaran dan lain-lain akan dilakukan melalui Peraturan Daerah (Perda) khusus tentang pemajuan kebudayaan Betawi.
Sekarang ini Perda terkait dengan hal tersebut sudah ada, yakni: Perda No. 4 tahun 2025 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Perda ini ditetapkan Pemprov DKI pada 9 September 2015 dan diundangkan pada tanggal 11 September 2015.
Perda tersebut bertujuan untuk melindungi dan menjamin kelestarian kebudayaan Betawi sebagai aset budaya yang penting bagi Jakarta dan Indonesia.
Dengan demikian, Perda No. 4 tahun 2015, tinggal direvisi sesuai dengan amanbat UU No. 2 tahun 2002 tentang DKJ, harapan Gubernur DKI dan Wakil Gubernur DKI serta masyarakat yang menginginkan kemajuan masyarakat dan kebudayaan Betawi.
Momentum Strategis
Tentu saja untuk menyatukan berbagai perbedaan pendapat tentang wadah tunggal LAB dengan kewenangan yang powerful dengan kepengurusan dari representasi Pejabat Pemprov DKI (ex officio), Ormas Betawi serta perwakilan petinggi DPRD DKI, TNI/Polri di Jakarta, sulit atau tidak mudah.
Tetapi sulit dan tidak mudah itu bukan berarti tidak bisa dan tidak mungkin diwujudkan. Semuanya sangat mungkin sepanjang mempunyai visi, political will, dan kepentingan sama dan bersama dengan membelakangi kepentingan pribadi dan kelompok.
Apalagi kini ada sejumlah petinggi berasal dari etnis Betawi seperti Sekda Provinsi DKI (Marullah Matali), Wakil Gubernur DKI (Rano Karno), dan Ketua DPRD DKI (Khoirudin).
Logika sederhananya untuk merevisi Perda No. 4 tahun 2015 kearah yang lebih sesuai dengan amanat UU No. 2 tahun 2022 dan harapan demikian membuncah saat ini dari masyarakat khususnya ernis Betawi, secara teori tidak sulit.
Momentumnya sangat strategis, pas dan tepat di era Pram-Doel. Jika tidak sekarang kapan lagi?
Jika bukan berasal dari dorongan dan dukungan dari tokoh etnis Betawi, siapa lagi? Wallahu a’lam bissawab.
Komentar0