Oleh Achmad Fachrudin
Dosen Universitas PTIQ
Dalam khasanah keilmuwan Islam, terdapat konsep husnul khotimah dan su’ul khotimah. Secara leksikal, husnul khotimah merupakan istilah dalam bahasa Arab yang terdiri dari dua kata: husnul yang berarti baik atau indah, dan khotimah yang berarti penutup atau akhir. Sementara su’ul khotimah juga berasal dari kosa kata dalam bahasa Arab yang terdiri dari dua kata: su’ul yang berarti buruk, dan khotimah yang berarti penutup atau akhir.
Secara terminologis, ḥusnul khātimah dapat didefisinikan sebagai keadaan dimana seseorang meninggal dunia dalam keadaan membawa iman dan amal saleh, serta dalam ridha Allah. Adapun suul khotimah, dapat didefinisikan keadaan dimana seseorang meninggal dunia dalam keadaan berpaling dari iman atau melakukan kemaksiatan besar tanpa sempat bertobat kepada Allah SWT.
Konsep husnul khotimah dan suul khorimah sejauh ini lebih banyak digunakan untuk membahas dan mengkaji urusan spiritualitas atau ukhrawiyah (akhirat, sakral), khususnya terkait dengan kematian seseorang. Sedangkan dikaitkan dengan urusan duniawiyah (dunia, profan), masih belum begitu banyak dibahas dan diterapkan. Padahal, kedua konsep tersebut saling terkait dan bisa digunakan untuk mencermati urusan akhirat maupun urusan duniawi.
Maka, memaknai dan memahami kedua konsep tersebut dalam satu tarikan nafas sangat penting dan dianjurkan dalam ajaran Islam. Karena Islam menghendaki kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebagaimana doa sapujagat yang sering kita dimunajatkan kepada Allah SWT. “Ya Allah, berikanlah kepada kami di dunia kebahagiaan (hasanah). Dan jauhkanlah kami dari api negara (atau berikanlah kebahagiaan di akhirat)”.
Indikator Husnul dan Suul Khotimah
Husnul khotimah mempunyai makna penting bagi kehidupan seorang muslim. Diantara alasannya, mengutip buku “Perjalanan Menuju Keabadian Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil” yang ditulis M. Quraish Shihab, bahwa Imam Muslim, melalui Abu Hurairah, meriwayatkan bahwa seseorang boleh jadi melakukan amal-amal penghuni surga dalam waktu yang lama tapi dia menutup amalnya dengan amalan penghuni neraka, demikian pula sebaliknya. Dalam konteks ini Nabi SAW bersabda: "Innama al-a'mâlu bi al-khawatim", yakni "seseorang dinilai sesuai akhir amalnya." (HR. Bukhari melalui Sahl bin Sa'id).
Sejumlah ulama memberikan indikator atau karakteristik spiritual kepada orang atau mereka yang meninggal dunia dalam keadaan husnul khotimah. Diantaranya: wafat dalam keadaan beribadah (misalnya saat sujud, puasa, atau berdzikir); mengucap kalimat lā ilāha illa Allāh saat wafat; wafat pada hari Jum’at atau di bulan Ramadhan; mati syahid saat jihad fi sabilillah; berdakwah, menuntut dan mengajarkan ilmu yang bermanfaat; melahirkan anak bagi ibu dan sebagainya.
Kebalikan dari suul khotimah atau "akhir yang buruk". Diantaranya wafat dalam keadaan tidak beribadah (misalnya saat sujud, puasa, atau berdzikir); tidak mengucap kalimat lā ilāha illa Allāh saat wafat, tidak melakukan jihad fi sabilillah; tidak melakukan berdakwah, tidak mengajarkan dan menuntut ilmu; wafat dalam keadaan maksiat (mabuk, mencuri, berzina, dan lain-lain); mengingkari Allah atau mati dalam kekufuran; meninggalkan agama Islam atau murtad, dan sebaganya.
Dalam kontek urusan duniawiyah, misalnya terkait karir, profesi, pekerjaan atau pengabdian di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun non ASN, baik pejabat negara/publik, non negara/publik. Profesi itu dikerjakan secara profesional dan berintegritas. Paska lengser dari jabatannya atau purna jabat, masih tetap dihormati, disegani, digugu dan ditiru oleh pejabat atau generasi penerusnya. Hal ini dapat terwujud karena saat menjabat mempunyai kualitas personal serta mewarisi kinerja positif bagi pejabat atau generasi penerusnya.
Sebaliknya bagi purna jabat yang tergolong suul khotimah, saat menjabat tidak dijalani dengan penuh tanggungjawab. Sehingga saat purna jabat, dilupakan kolega dan masyarakat karena dianggap tidak memiliki kualitas personal dan berkinerja buruk serta tidak meninggalkan warisan (legacy) yang membanggakan. Parahnya lagi, jika purna jabat justeru yang diungkit lebih banyak kekurangan, kelemahan dan kesalahannya.
Keburukan paling parah dan negatif dari purna jabat yang masuk kategori suul khotimah adalah terbelit dengan berbagai kasus amoral, asusila, korupsi, penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan. Sehingga purna jabat yang semestinya hidup lebih nyaman dan tentram di usia tua, justeru sebaliknya: lebih banyak berkutat dan direpotkan oleh berbagai urusan dengan opini negatif tentang dirinya. Lebih celaka lagi jika mengalami proses hukum oleh pihak berwajib karena penyalahgunaan jabatan yang dilakukan.
Keberuntungan dan Kesialan
Kolumnis tersohor Dahlan Iskan melontarkan istilah “Kebenaran Baru". Menurut Dahlan, di era post truth saat ini terjadi pergeseran makna kebenaran, dimana fakta-fakta objektif tidak lagi menjadi dasar utama, melainkan persepsi individu atau kelompok yang terbentuk melalui media sosial (Medsos) yang disebarkan secara berulang-ulang serta dibingkai (framing) sedemikian rupa. Sehingga membentuk persepsi kolektif, yang kemudian dianggap sebagai kebenaran, meskipun belum tentu sesuai dengan kenyataan.
Opini atau persepsi tentang khusnul khotimah maupun suul khotimah purna jabat, dihadapkan pada adanya “kebenaran baru” yang dibentuk oleh media massa, termasuk Medsos. Melalui opini media massa dan Medsos, terlebih yang dibarengi framing (pembingkaian) oleh orang atau kelompok tertentu dengan memanfaatkan influencer atau buzzer. Framing yang dibentuk oleh media, bisa membuat orang baik menjadi buruk, otentik (asli) bisa dianggap artifisial (palsu), benar bisa salah, atau sebaliknya. Bahkan bisa menjadi abu-abu.
Hal yang sama juga berpotensi terpadi pada pejabat publik yang purna jabat, terlebih yang mempunyai jabatan mentereng. Sehingga berdampak pada terjadi atau dialaminya husnul khotimah dan suul khotimah. Predikat atau stigma ini kadang-kadang bisa diprediksi (predicable), namun terkadang tidak diprediksi (unpredictable). Di tengah itu, ada yang namanya keberuntungan (lucky, blessing in disguise) dan kesialan atau keapesan (unfortunately). Contoh keberuntungan, sebenarnya purna jabat tersebut termasuk yang karir dan ujung karirnya banyak melakukan tindakan tidak terpuji, namun lolos dari pemberitaan media massa atau Medsos atau jeratan hukum.
Namun ada juga yang mengalami kesialan/keapesan. Karena faktanya selama karirnya sebagai pejabat tidak melakukan pelanggaran hukum, namun karena opini publik membuatnya beroleh citra buruk. Bahkan ada pejabat publik yang mengalami proses hukum, bukan semata karena kesalahan yang disengaja dilakukan untuk kepentingan memperkaya diri sendiri atau kelompoknya. Melainkan akibat kebijakan yang dianggap melanggar hukum. Ironisnya lagi, kebijakan yang dituding melanggar hukum tersebut karena diperintah oleh atasannya.
Anomali semacam ini khas kehidupan di dunia. Indonesia dianggap termasuk negara yang memiliki tingkat anomali hukumsangat tinggi sehingga muncul pameo “hukum tajam keatas namun tumpul ke bawah”, politisasi dan kriminalisasi hukum, mafia hukum, dan sebagainya. Jika kita menghadapi kondisi buruk akibat rekayasa hukum, harus tetap melakukan ikhtiar untuk menegakan keadilan hukum. Selebihnya, tawakkal kepada Allah SWT merupakan jalan yang dianjurkan dilakukan bagi setiap orang kaum beriman.
Tetapi percayalah di akhirat, kuasa dan hukum Allah, pasti adil. Allah tidak akan menyiksa hambanya yang berbuat kebaikan. Dan hanya menghukum secara timpal kepada manusia atas segala perbuatannya, baik yang berbuat baik maupun yang buruk. Begitipun ada kalanya Allah melakukan ‘pamer’ kuasa dengan memberikan azab di dunia bagi mereka yang pernah membuat zolim kepada atau orang atau kelompok yang tidak berdosa.
Seruan Moral
Konsep husnul khotimah dan suul khotimah dalam khasanah keislaman dapat diadopsi dan diterapkan untuk urusan akhirat dan urusan duniawiyah. Keduanya, merupakan refleksi dari keseluruhan perjalanan hidup seseorang. Ini berarti bahwa setiap tindakan, keputusan, dan pilihan yang dibuat saat menapaki dan selama karir seorang manusia, akan mempengaruhi bagaimana seseorang memahami, mensikapi dan mengakhiri karirnya.
Oleh karena itu, seruan moral agar saat akan menjalani, mengakhiri karir dan memasuki purna jabatan (masa pensiun) dengan husnul khotimah dengan sebelumnya memelihara kualitas personal, berintegritas, menjauhkan diri dari perilaku suul khotimah serta meninggalkan warisan (legacy) positif dan bermanfaat bagi pejabat atau generasi yang ditinggalkan. Sehingga purna jabat, hidup lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, lebih nyaman, rilek dan tentram, banyak aktivitas di lingkungan keluarga, serta tetap bermanfaat bagi orang banyak.
Komentar0