SATYABERITA - Jakarta kembali diguncang temuan mencengangkan. Sejumlah kios kosmetik di wilayah Jakarta Barat ternyata diduga menjadi kedok bisnis obat keras berbahaya, termasuk Eximer dan Tramadol, yang dijual bebas tanpa resep dokter.
Fenomena ini terungkap setelah investigasi lapangan menunjukkan maraknya peredaran obat daftar G di kawasan Kalideres hingga Cengkareng. Ironisnya, penjualan dilakukan secara terang-terangan seolah kios tersebut hanya menjual kebutuhan sehari-hari.
Kios kecil berukuran 3x1,5 meter yang tampak sederhana dari luar ternyata memiliki aktivitas mencurigakan. Warga menyebut kios itu sebagai “Warung Aceh”, tempat orang-orang datang bukan untuk membeli kosmetik, melainkan obat keras.
“Kalau sudah kenal, cukup sebut kode saja. Misalnya ‘TM selem’ untuk Tramadol atau ‘kuning’ untuk Eximer,” ujar TP, salah satu pembeli yang ditemui di sekitar lokasi.
Kode rahasia itu menjadi pintu transaksi antara pembeli dan penjual. Begitu kode disampaikan, obat langsung diberikan, pembayaran dilakukan cepat, dan pembeli berlalu seakan baru membeli permen di warung biasa.
Penelusuran lebih jauh mengungkap bahwa praktik serupa tidak hanya ada di satu titik. Setidaknya belasan kios diduga beroperasi dengan modus sama di sekitar Terminal Kalideres, Stasiun Kalideres, Pasar Hipli Semanan, hingga perkampungan padat di Cengkareng.
Setiap kios memiliki pola identik: bagian depan menjual kosmetik, minuman ringan, hingga tisu. Namun di balik etalase, tersimpan stok obat keras yang siap diperjualbelikan dengan sistem kode.
Aktivitas semakin ramai menjelang sore dan malam hari. Saat pengawasan longgar, pembeli dari berbagai kalangan silih berganti berdatangan. Ada remaja, sopir angkot, pengamen, hingga pria dewasa.
Mengkhawatirkan, bahkan siswa berseragam sekolah terlihat ikut membeli obat keras tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan dampak serius bagi generasi muda di Jakarta Barat.
“Kalau kios A tutup, ada kios B atau C. Para pembeli sudah tahu tempatnya. Kalau tidak tahu kode, tidak akan dilayani,” lanjut TP.
Fenomena ini seakan membentuk jaringan tersembunyi yang terorganisir rapi. Mereka saling menggantikan, memastikan peredaran tetap berjalan meski satu titik terpantau aparat.
Bagi masyarakat sekitar, keberadaan kios obat keras berkedok kosmetik bukan lagi rahasia. Namun, ketakutan untuk melapor membuat bisnis ini terus berjalan tanpa hambatan.
Hasil investigasi juga menemukan bahwa para penjual kerap menggunakan anak buah untuk melayani pembeli. Cara ini dipakai untuk mengurangi risiko jika ada penggerebekan.
Polsek Kalideres yang dikonfirmasi mengaku baru menerima laporan terkait aktivitas tersebut. “Terima kasih laporannya. Tapi kita baru tahu ada hal itu,” kata seorang petugas kepada wartawan, Kamis (2/10).
Pernyataan itu menunjukkan lemahnya pengawasan di tingkat aparat, padahal peredaran obat keras tanpa izin bisa menimbulkan dampak sosial yang merusak.
Kasus ini menjadi peringatan serius bahwa perang melawan narkoba dan obat keras tidak cukup hanya dengan razia sesaat. Diperlukan strategi komprehensif dan berkelanjutan.
Pengawasan izin usaha, pemutusan rantai distribusi, hingga edukasi ke masyarakat harus berjalan bersamaan. Tanpa itu, jaringan kios obat keras akan terus tumbuh subur.
Apalagi dengan kedok kosmetik yang mudah menyamarkan aktivitas ilegal, para pelaku bisa leluasa mengelabui aparat dan masyarakat.
Pemerintah dan aparat penegak hukum tidak bisa lagi menutup mata. Jika dibiarkan, Jakarta Barat berisiko menjadi episentrum peredaran obat keras di ibu kota.
Selama kios-kios berkedok kosmetik ini dibiarkan beroperasi, harapan Jakarta bebas narkoba hanya akan menjadi ilusi semu.
Kini semua mata tertuju pada Polres Metro Jakarta Barat. Publik menunggu langkah nyata, cepat, dan tegas untuk menghentikan peredaran obat keras yang kian merajalela.
Komentar0