Banyak alasan yang menyebabkan terjadinya PHK saat ini seperti ketidakpastian pasar dan penurunan permintaan ekspor, terutama dari negara-negara tujuan utama seperti Amerika Serikat dan Eropa. Lalu, masalah efisiensi operasional dalam industri juga menjadi penyebab utama.
Banyak Perusahaan terpaksa melakukan penyesuaian dengan mengurangi jumlah tenaga kerja sebagai bagian dari upaya penghematan biaya di tengah tantangan ekonomi yang sedang berlangsung. Ini sejalan dengan tren global di mana industri manufaktur dan tekstil mengalami penurunan permintaan yang signifikan.
Proses PHK yang semakin meningkat tersebut juga didukung oleh kehadiran UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang membuka proses PHK lebih mudah. Alasan PHK menjadi 26 alasan di Peraturan Pemerintah (PP) no. 35 tahun 2021 (sebagai regulasi operasional UU Cipta Kerja), yang sebelumnya hanya ada 15 alasan PHK di UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan).
Sebagai contoh alasan PHK di Pasal 46 ayat (1) PP No. 35 Tahun 2021 yang menyatakan Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian. Tentunya alasan PHK karena Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian, tidak ada di UU Ketenagakerjaan.
Lalu kompensasi PHK yang juga dimuat di PP No. 35 Tahun 2021 relatif lebih rendah dari ketentuan kompensasi PHK di UU Ketenagakerjaan, sehingga juga mendukung proses terjadinya PHK. Sebagai contoh, alasan PHK karena efisiensi yang dilakukan Perusahaan kompensasi PHK di UU Ketenagakerjaan diatur sebesar 2 x Pesangon (atau 2 x Pasal 156 ayat (2)), namun di PP No. 35 Tahun 2021 nilai kompensasi dengan alasan tersebut sebesar 1 x Pasal 40 ayat (2) atau senilai 1 x Pasal 156 ayat (2) di UU Ketenagakerjaan.
Sejak lahirnya UU Cipta Kerja, pekerja yang rentan mengalami PHK juga mengalami peningkatan karena adanya ketentuan baru bagi pekerja kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan pekerja dengan system alih daya (outsourcing). Menjadi pekerja PKWT dan alih daya (yang juga berbasis PKWT) merupakan pekerjaan yang mudah terPHK karena dibatasi oleh waktu kontrak.
Ketentuan tentang PKWT yang diatur di Pasal 59 UU Cipta Kerja mengatur masa PKWT selama 5 tahun, yang sebelumnya di UU Ketenagakerjaan maksimal 3 tahun. Dengan semakin panjanganya masa PKWT maka semakin rentan diPHK dengan alasan habisnya masa kontrak kerja.
Demikian juga dengan perpanjangan kontrak kerja, di UU Ketenagakerjaan perpanjangan kontrak hanya boleh dilakukan sekali, namun di UU Cipta Kerja perpanjangan kontrak dapat dilakukan berkali-kali. Ketentuan tentang perpanjangan kontrak kerja di UU Cipta Kerja ini menyebabkan pekerja mudah untuk di PHK.
Jadi baik pekerja tetap, pekerja PKWT maupun pekerja dengan system alih daya akan rentan mengalami PHK, yang mengakibatkan jumlah PHK saat ini semakin meningkat.
Proses PHK harus didasari pada alasan-alasan yang obyektif sesuai ketentuan UU Cipta Kerja, demikian juga dengan pemberian kompensasi PHK harus sesuai ketentuan di PP no. 35 Tahun 2021. Namun demikian ada keinginan PHK yang tidak sesuai dengan alasan yang ada di regulasi dan nilai kompensasi PHK-nya tidak sesuai PP no. 35 tahun 2021.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Keinginan Perusahaan untuk memPHK pekerja harus mendapat persetujuan dari pekerja itu sendiri. Bila pekerja menolak PHK tersebut maka timbul perselisihan hubungan industrial yaitu perselisihan PHK.
Bila ada proses PHK tidak sesuai ketentuan atau pekerja tidak setuju diPHK atau pekerja menolak kompensasi PHK maka pekerja dapat menolak PHK dengan memproses PHK tersebut melalui penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI).
Ketentuan tentang PPHI diatur di UU No 2 tahun 2004, yang membagi empat jenis perselisihan yaitu Perselisihan Hak, Perselisihan Kepentingan, Perselisihan PHK, dan Perselisihan Antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusa-haan, atau perjanjian kerja Bersama.
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
Adapun proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilalui melalui beberapa tahap yang dimulai dari proses perundingan bipartite yaitu antara pekerja dengan pengusaha. Pada proses bipartite ini pihak pekerja bisa didampingi atau diwakili oleh serikat pekerja/serikat buruh. Output proses bipartite adalah risalah bipartite.
Bila proses tidak selesai maka tahap berikutnya ada di dinas tenaga kerja dengan melakukan proses mediasi. Selain proses mediasi di dinas tenaga kerja, tahap berikutnya, sebagai alternatif, bisa diserahkan kepada konsiliasi atau arbitrase namun di kedua proses hampir tidak pernah dilakukan pekerja dan pengusaha.
Bila tidak ada titik temu di proses mediasi maka Mediator akan mengeluarkan Surat Anjuran, yang harus disertai untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Para pihak (salah satu atau kedua belah pihak) dapat mengajukan gugatan ke PHI bila tidak menyetujui isi Surat Anjuran. Sidang gugatan yang diajukan ke PHI akan diproses, dan pekerja dan pengusaha sebagai pihak akan berperkara secara perdata di PHI pada Pengadilan Negeri setempat.
Putusan Mejelis Hakim PHI dapat bila tidak diterima, dapat diajukan kasasi ke Mahkalamh Agung (MA). Putusan Majelis Hakim MA bersifat final dan mengikat yang harus dijalankan kedua belah pihak.
Jadi PHK tidak boleh sepihak, dan harus didasari pada alasan PHK yang jelas serta obyektif dan kompensasi PHK pun harus sesuai dengan ketentuan yang ada. Bila ada proses PHK yang tidak sesuai maka pekerja dapat menempuh upaya perselisihan PHK sesuai dengan amanat UU No. 2 Tahun 2004.
Oleh: Raisya Grace Martauli Siregar. Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Komentar0