SATYABERITA - Mantan Presiden Suriah Bashar Al-Assad, yang digulingkan dalam pertempuran dengan kelompok Islamis Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan pemberontak lainnya, memberikan pernyataan pertamanya pada Senin, 17 Desember 2024.
Al-Assad kini berada di Moskow, Rusia, setelah melarikan diri dari Damaskus ketika ibu kota Suriah jatuh ke tangan kelompok pemberontak.
Dalam pernyataannya yang dirilis melalui saluran Telegram, Al-Assad mengecam para pemimpin baru Suriah sebagai "teroris" dan membantah laporan yang menyebutkan bahwa dirinya meninggalkan negara tersebut beberapa jam sebelum Damaskus jatuh.
Ia mengungkapkan bahwa kepergiannya tidak direncanakan dan terjadi setelah Moskow meminta evakuasi segera ke Rusia pada malam Minggu, 8 Desember 2024, menuju Latakia, tempat pangkalan angkatan laut Rusia berada.
"Saat negara jatuh ke tangan terorisme dan kemampuan untuk memberikan kontribusi yang berarti hilang, posisi apapun menjadi hampa tujuan," tambahnya dalam pernyataan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tersebut.
Bashar Al-Assad telah memimpin Suriah sejak tahun 2000, menggantikan ayahnya Hafez Al-Assad yang berkuasa selama 30 tahun. Keluarga Assad telah memerintah negara itu selama lebih dari lima dekade.
Namun, sejak 2011, ia menghadapi pemberontakan yang dipicu oleh fenomena Arab Spring, yang kemudian berkembang menjadi perang saudara. Konflik ini mendapat dukungan dari Iran dan Rusia, yang membantu mempertahankan rezim Assad meskipun banyak pihak menuntut perubahan kepemimpinan.
Perang saudara Suriah telah menyebabkan kehancuran besar dengan lebih dari 230.000 warga sipil tewas antara Maret 2011 hingga Maret 2024.
Jaringan Hak Asasi Manusia Suriah (SNHR) mencatat bahwa mayoritas korban tewas (87%) jatuh di tangan pasukan rezim Suriah dan milisi pro-Iran. Selain itu, ribuan lainnya tewas akibat serangan pasukan Rusia, ISIS, dan faksi-faksi oposisi.
Menurut laporan The New York Times, jumlah korban tewas akibat konflik ini jauh lebih tinggi, mencapai sekitar 620.000 jiwa, yang mencerminkan dampak besar pada negara dengan populasi sebelum perang sekitar 22 juta jiwa.
Di sisi lain, pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), Abu Mohammed al-Jolani, menyatakan bahwa sebuah "kontrak sosial" antara negara dan semua agama di Suriah diperlukan untuk memastikan keadilan sosial.
HTS, yang sebelumnya berafiliasi dengan Al-Qaeda namun telah menjauh sejak 2016, kini berfokus pada pembentukan Suriah yang baru. Al-Jolani juga menyerukan pencabutan sanksi internasional terhadap Suriah jika para pengungsi yang mengungsi akibat perang diizinkan kembali.
HTS yang berbasis Sunni kini menjadi salah satu kekuatan pemberontak utama di Suriah, dengan pengaruh besar di wilayah barat laut negara itu. Al-Jolani mengungkapkan komitmennya untuk menjaga kesatuan Suriah dan memastikan adanya keadilan sosial bagi semua pihak.
Sementara itu, konflik Suriah yang telah berlangsung lebih dari satu dekade ini terus mempengaruhi kehidupan jutaan orang di dalam dan luar negeri.
Komentar0