SATYABERITA - Glodok, yang kini dikenal sebagai kawasan pecinan terbesar di Jakarta, memiliki sejarah yang kaya, terutama dalam budaya Tionghoa.
Setiap tahun, terutama saat perayaan Tahun Baru China atau Imlek, kawasan ini menjadi pusat perayaan yang meriah.
Lampion-lampion berwarna merah dan emas, serta berbagai ornamen khas, menghiasi setiap sudut jalan, menciptakan suasana yang semarak dan penuh warna.
Menurut Zaenuddin HM dalam bukunya 212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe, nama Glodok berasal dari kata Grojok.
Pada masa penjajahan Belanda, kawasan ini terkenal dengan sebuah pancuran besar yang terbuat dari kayu, yang berfungsi mengalirkan air dari Kali Ciliwung ke sebuah waduk penampungan.
Ketika hujan turun, pancuran itu mengeluarkan bunyi "grojok-grojok", dan seiring waktu, warga setempat, terutama masyarakat Tionghoa, mulai menyebutnya dengan nama Glodok karena kesulitan dalam mengucapkan kata "Grojok".
Namun, ada pula versi lain yang menyebutkan bahwa nama Glodok berasal dari sebuah jembatan yang membentang di atas Kali Ciliwung di kawasan tersebut.
Jembatan itu dikenal dengan nama Jembatan Kali Glodok. Di sepanjang jembatan, terdapat tangga-tangga yang menempel di tepi kali, digunakan oleh penduduk untuk mandi dan mencuci.
Dalam bahasa Sunda, tangga semacam itu disebut glodok, yang kemudian menjadi nama untuk kawasan tersebut.
Hingga kini, Glodok tetap menjadi pusat pemukiman masyarakat Tionghoa yang terpadat di Jakarta, dengan berbagai toko, pasar, dan tempat ibadah yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kawasan ini.
Komentar0