SATYABERITA – Warga Pulau Pari, terutama nelayan, kembali melakukan aksi penolakan terhadap aktivitas pengerukan pasir laut yang dilakukan oleh excavator (beko) di perairan dangkal Gugusan Pulau Pari.
Pengerukan pasir tersebut merupakan bagian dari rencana pengembangan fasilitas pariwisata oleh pihak swasta. Warga khawatir proyek ini dapat merusak ekosistem laut setempat, yang selama ini mereka jaga secara mandiri.
Pada 17 Januari 2025 lalu, aktivitas pengerukan yang berlangsung sejak siang hingga sore sempat dihentikan setelah sejumlah nelayan dan warga turun ke lokasi untuk meminta penghentian aktivitas tersebut.
Aksi tersebut mengingatkan pada kejadian serupa pada 1 November 2024, ketika warga juga menghadang masuknya excavator ke wilayah tersebut.
Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3), Mustaghfirin, menegaskan bahwa pembangunan cottage apung dan dermaga wisata di wilayah Gugusan Lempeng dapat berisiko merusak lingkungan, terutama terumbu karang, padang lamun, dan mangrove.
Ia menyebutkan bahwa warga telah menjaga kawasan tersebut dengan melakukan penanaman dan budidaya mangrove secara kolektif tanpa bantuan pemerintah.
"Kami sudah lama menjaga kawasan ini dengan penanaman dan budidaya mangrove secara kolektif tanpa bantuan pemerintah. Ini adalah bentuk pengelolaan lingkungan yang kami lakukan secara mandiri sebagai wujud penguasaan terhadap ruang hidup kami," kata Mustaghfirin dalam keterangannya, Selasa (21/1/2025)
Selain itu, warga juga khawatir proyek ini akan membatasi aktivitas nelayan yang selama ini menggantungkan hidupnya di laut. Mereka menilai pembatasan atau larangan melaut yang terjadi di pulau-pulau lain seperti Pulau Biawak atau Pulau Kongsi akan terjadi juga di Pulau Pari.
"Kami tidak ingin nasib kami seperti nelayan di Pulau Biawak atau Pulau Kongsi yang kini terhalang oleh proyek pembangunan. Laut adalah hidup kami," ujar Mustaghfirin.
Sementara itu Sulaiman, Ketua RW 04 Pulau Pari, juga mengungkapkan bahwa banyak warga yang belum mengetahui tentang Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang telah diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait proyek ini.
"Hingga saat ini, masih banyak warga yang belum diberitahu mengenai izin tersebut. Kami menolak seluruh aktivitas pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan kami dan berpotensi merusak ekosistem kelautan dan perikanan yang ada di gugusan Pulau Pari," tegas Sulaiman.
Aksi penolakan ini mencerminkan keprihatinan warga yang merasa bahwa proyek pembangunan pariwisata dapat menggusur hak mereka atas ruang hidup yang telah mereka kelola dengan baik selama ini.
"Warga berharap agar pemerintah dan pihak swasta lebih memperhatikan keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat lokal sebelum melanjutkan proyek pembangunan di wilayah tersebut," tutup Sulaiman. (pot)
Komentar0