Akademisi dari Universitas PTIQ
TERSEBUTLAH nama Michel Foucault atau lengkapnya Paul-Michel Foucault (15 Oktober 1926 – 25 Juni 1984). Ia menempuh pendidikan di Lycée Henri-IV dan kemudian École Normale Supérieure. Foucault dikenal sebagai seorang filsuf Prancis, sejarawan ide, ahli teori sosial, ahli bahasa dan kritikus sastra. Pemikiran filosofis Foucault dipengaruhi oleh banyak pemikir (filsuf, sosiolog, sastrawan) seperti Friedrich Nietzsche, Karl Mark, Ferdinand de Saussure, Sigmund Freud, Charles Baudelaire dan masih banyak lagi.
Sebagai seorang pemikir kritis, Foucault banyak membahas tentang wacana kritis yang berhubungan dengan pengetahuan dan kekuasaan. Wacana sendiri dalam perspektif Foucault tidak hanya dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi wacana merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.
Menurut Foucault, rezim wacana merupakan manifestasi dari kekuasaan. Oleh karena itu, dalam perspektifnya, kekuasaan tidak dijalankan melalui cara-cara represif seperti penindasan atau pemaksaan melalui aparatus koersif. Sebaliknya, kekuasaan justru bekerja secara positif dan produktif. Pengetahuan atau rezim wacana yang dianggap sah atau otoritatif merupakan hasil dari mekanisme kekuasaan tersebut.
Kekuasaan senantiasa berkaitan erat dengan institusi atau aparatus yang memiliki peran dalam menentukan apakah suatu pengetahuan dianggap sah atau tidak. Batas antara apa yang dianggap benar dan salah juga ditentukan oleh aparatus ilmiah yang memproduksi pengetahuan melalui prosedur-prosedur kebenaran, seperti penggunaan dasar empiris sebagai legitimasi atas klaim kebenaran itu sendiri.
Foucault menolak pemisahan antara pengetahuan yang murni dan bebas dari kekuasaan dengan pengetahuan yang tercemar oleh ideologi dan kekuasaan; baginya, pembedaan tersebut hanyalah ilusi. Ia menekankan bahwa pengetahuan dan kekuasaan saling terikat dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan —tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan begitu pula sebaliknya.
Kekuasaan, Pengetahuan dan Kebenaran
Dari sini, Foucault sangat tertarik menyelidiki hubungan antara kuasa dan pengetahuan. Baginya, tidak ada praktek pelaksanaan kekuasaan yang tidak memunculkan pengetahuan dan tidak ada pengetahuan yang di dalamnya tidak memandang relasi kuasa. Foucault menunjukan bagaimana individu modern lahir sebagai objek dan subjek dari penyebaran dan pengadaan jaring-jaring kuasa.
Pergeseran minat analisis Foucault dari yang semula perhatian penyelidikannya pada bentuk formasi wacana ke penyelidikan terhadap isu kekuasaan, berimplikasi pada penggunaan metode, dari arkeologi ide (pengetahuan) ke genealogi kekuasaan. Tujuan penggunaan teori geneologi kekuasaan adalah untuk menelusuri awal pembentukan episteme yang dapat terjadi kapan saja.
Genealogi bagi Foucault, tidak bermaksud mencari asal-usul melainkan berupaya menggali kedalaman episteme dan berusaha sedapat mungkin meletakkan dasar kebenaran pada masing-masing episteme di setiap masa. Geneologi juga bukan sebuah teori tetapi merupakan suatu cara pandang atau perspektif untuk membongkar dan mempertanyakan episteme, praktik sosial dan diri manusia.
Karya awal Foucault yang mencuplik genealogi dalam analisisnya adalah “Discipline and Punish”. Melalui karyanya tersebut Foucault berpendapat, pengetahuan tidak hanya mencerminkan kekuasaan, tetapi juga digunakan sebagai alat untuk mengendalikan masyarakat. Bahkan Foucault mengatakan: “discourse is political commodity, a phenomenon of exclusion, limitation, prohibition.”
Sekurangnya ada tiga contoh diajukan Foucault untuk memperkuat tesisnya. Pertama, pengetahuan sebagai alat kekuasaan. Contohnya, pengetahuan medis dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati penyakit, tetapi juga untuk menormalisasi perilaku dan mengendalikan populasi. Kedua, kekuasaan membentuk pengetahuan. Kekuasaanlah yang menentukan apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang valid dan apa yang dianggap sebagai “kebenaran”. Ketiga, pengetahuan dan biopower yang menjelaskan bagaimana kekuasaan dapat mengontrol dan mengatur kehidupan melalui pengetahuan tentang tubuh, kesehatan dan populasi.
Salah satu aspek penting dalam pemikiran Foucault adalah hubungan antara kebenaran dan kekuasaan. Dalam esainya “Truth and Power”, Foucault menegaskan bahwa kebenaran tidak berdiri di luar kekuasaan, melainkan justru merupakan hasil dari kerja kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan tidak hanya bertugas menegakkan atau memaksakan kebenaran, tetapi lebih dalam lagi —ia memproduksi kebenaran. Kebenaran muncul melalui seperangkat mekanisme, praktik sosial, dan institusi yang dikendalikan oleh kekuasaan.
Dengan merujuk pada kerangka ini, perdebatan mengenai kebenaran yang otentik atau yang sejati menjadi kurang relevan. Foucault memandang wacana sebagai “komoditas politik” —bukan sesuatu yang netral, melainkan sesuatu yang tunduk pada proses eksklusi, pembatasan, dan pelarangan. Wacana memiliki potensi besar untuk berfungsi sebagai instrumen kekuasaan, menentukan apa yang dapat dikatakan, siapa yang boleh berbicara, dan dalam konteks apa kebenaran dapat diakui.
Tentang Kekuasaan Politik dan Kekuasaan Epistemik
Lantas bagaimana Foucault menguraikan bahwa kekuasaan dapat menyusup dalam pengetahuan atau sebagai instrument kekuasaan? Menurut interpretasi Joseph Rouse, dapat melalui dua level sekaligus, yakni lewat kekuasaan politik dan kekuasaan epistemik. Melalui kekuasaan politik, negara atau pemerintah dapat menciptakan satu (atau beberapa) pandangan yang kemudian diterima sebagai kebenaran di masyarakat. Dengan kekuasaannya, negara (seakan) berhak menentukan mana pandangan yang benar dan mana yang salah. Hal itu dapat dilakukan lewat mekanisme sensor seperti yang kerap dilakukan di negara-negara otoriter.
Sementara lewat jalur epistemik, universitas atau lembaga penelitian menjadi institusi penentu sesuatu sebagai ilmiah atau tidak ilmiah. Menurut Rouse, apa yang dilakukan oleh kekuasaan politik dan kekuasaan epistemik ini adalah upaya untuk menormalkan penilaian (normalizing judgment) agar sesuai dengan konstruksi norma. Yang dimaksud dengan norma di sini tentu saja adalah norma dalam pengertian kekuasaan tertentu.
Konsekuensi dari proses ini adalah bahwa segala sesuatu yang berada di luar “kenormalan” akan dinilai sebagai sesuatu yang tidak normal (tidak sesuai dengan norma yang ada). Dalam “Discourse on Language”, kuliah yang pernah Foucault berikan di College de France pada 1970, ia menguraikan bagaimana bahasa yang menjadi bagian penting dalam diskursus itu dikontrol oleh kekuasaan. Menurut Foucault, dalam setiap masyarakat, produksi wacana selalu dikontrol, diseleksi, diatur dan kembali didistribusikan menurut prosedur yang sudah ditentukan.
Dikaitkan dengan bahasa, kita mengenal apa yang disebut dengan praktik eksklusi, yakni upaya untuk mengeluarkan diskursus tertentu karena dianggap “tidak benar.” Hal paling nyata dari praktik itu adalah apa yang kemudian dikenal dengan larangan untuk membincangkan tema-tema tertentu (prohibited words). Selain melalui konsep ketabuan, bahasa juga membuat satu mekanisme yang disebut oposisi biner, yakni penciptaan dikotomi hitam-putih. Melalui mekanisme ini, para pengguna bahasa dipaksa untuk membedakan pembicaraan yang disebut sebagai masuk akal (reason) dan tidak masuk akal (folly), antara yang waras dan tidak waras.
Sementara dalam bukunya “The History of Sexuality”, Foucault berpendapat, relasi kekuasaan kini sudah semakin dipengaruhi dan terus-menerus berada di bawah kontrol negara. Inilah mengapa kemudian Foucault menyebut model relasi kekuasaan itu dengan governmentality karena memang relasi kekuasaan semakin di-govermentalisasi-kan (governmentalized). Muaranya pemerintah berpotensi, apa yang oleh Antonio Gramsci sebut sebagai hegemoni oleh negara. Dengan cara negara mempertahankan kekuasaannya bukan hanya melalui paksaan atau kekerasan, melainkan juga melalui wacana, persuasi dan konsensus.
Kritik Terhadap Pemikiran Foucault
Tentu saja pemikiran Foucault tidak lepas dari kritik. Kritik dapat dilakukan dari beberapa sudut pandang, baik filosofis, epistemologis, maupun etis. Misalnya dari aspek epistemologis. pemikiran Foucault berpotensi .jatuh ke dalam relativisme, yakni pandangan bahwa tidak ada kebenaran objektif yang bisa berdiri di luar struktur kekuasaan.
Jika semua pengetahuan adalah efek dari kekuasaan, maka tidak ada dasar yang kuat untuk membedakan antara pengetahuan yang sah dan propaganda. Hal ini berisiko melemahkan klaim ilmiah atau moral, karena semua dianggap sebagai produk rezim wacana yang setara nilainya. Ini dapat merelatifkan kebenaran sains maupun prinsip-prinsip keadilan.
Kritik lain terhadap pemikiran Foucault karena dianggap cenderung menekankan struktur dan mekanisme kekuasaan yang menyebar di seluruh tatanan sosial, sehingga individu tampak seperti sepenuhnya dikondisikan oleh kekuasaan. Kritik terhadap ini menyatakan bahwa pendekatan Foucault melemahkan peran agensi atau kehendak bebas manusia, serta mengabaikan potensi resistensi yang berasal dari otonomi moral atau rasionalitas individu.
Selain itu, karena Foucault menolak adanya fondasi moral universal atau kebenaran objektif, maka sulit bagi pemikirannya untuk menjadi landasan bagi kritik normatif terhadap kekuasaan yang menindas. Jika semua wacana adalah hasil kekuasaan, maka bagaimana kita bisa mengatakan bahwa satu bentuk kekuasaan lebih adil atau lebih benar daripada yang lain?
Sejumlah kritikus menilai, terdapat potensi kontradiksi dalam argumen Foucault: jika ia sendiri mengklaim bahwa semua wacana adalah produk kekuasaan, maka apakah argumennya sendiri tidak termasuk dalam wacana yang dikonstruksi oleh kekuasaan? Jika ya, mengapa kita harus mempercayai kebenaran argumen Foucault? Kritik ini menyoroti kemungkinan bahwa Foucault menggunakan kriteria kebenaran yang ia sendiri tolak secara prinsip.
Dengan menekankan bahwa kebenaran adalah konstruksi sosial yang dibentuk oleh kekuasaan, Foucault juga dianggap mengabaikan realitas objektif atau material yang bisa diverifikasi secara empiris. Misalnya, penemuan ilmiah tentang virus atau perubahan iklim memiliki dasar yang dapat dibuktikan secara independen dari rezim wacana tertentu. Dan kebenaran yang independent tentu saja hanya bisa lahir dari pribadi atau institusi yang independen dan kredibel. ***
Komentar0