TpOlTfrpTSY5BUO8BSd8Tfr0Gi==

Reformasi yang Tertatih: Refleksi atas Demokrasi yang Mencari Diri

      27 Tahun Reformasi, Antara Jejak Luka,            Sejarah dan Asa yang Belum Selesai.

SATYABERITA- Mei 1998 bukan sekadar angka dalam almanak politik Indonesia; ia adalah bara dalam sejarah, letusan gunung kesadaran rakyat yang muak pada tirani. Reformasi adalah anak kandung dari ketegangan panjang antara kekuasaan dan nurani. Ia lahir dari darah mahasiswa, dari jerit ibu-ibu pencari keadilan, dari sunyi rakyat kecil yang digerus oleh mesin-mesin kekuasaan yang rakus.

Kini, dua puluh tujuh tahun berselang, apakah Reformasi telah menunaikan janji-janji sucinya? Ataukah kita hanya mengganti kulit otoritarianisme dengan topeng demokrasi yang menua dalam kepalsuan?

Dari Runtuhnya Orde ke Asa Baru
Reformasi 1998 lahir dari akumulasi penderitaan panjang. Selama 32 tahun, Orde Baru membungkam kritik dan memakmurkan segelintir elit. Pembangunan didewakan, sementara kemanusiaan dikesampingkan. Kebebasan berekspresi dikorbankan demi stabilitas semu. Namun krisis moneter 1997 menjadi paku terakhir dalam peti mati kekuasaan otoriter. Mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil turun ke jalan dengan satu nyanyian: turunkan Soeharto.

Transisi demokrasi pun dimulai. Pemilu yang bebas, desentralisasi, kebebasan pers, dan kebangkitan masyarakat sipil menjadi wajah-wajah baru Indonesia pasca-Orde Baru. Tapi sejarah bukan garis lurus. Ia adalah spiral yang sering mengulang luka dalam bentuk baru.


Demonstrasi Mahasiswa Reformasi yang Dikooptasi dan Demokrasi yang Retak
Setelah hampir tiga dekade, reformasi seakan telah menjadi fosil dalam narasi politik. Ia dimaknai sebagai peristiwa, bukan sebagai proses berkelanjutan. Demokrasi prosedural memang hadir, tetapi substansinya compang-camping.

1. Oligarki dalam Demokrasi
Ketika pemilu menjadi ajang pembakaran uang, dan politik hanya bisa dijangkau oleh mereka yang punya kapital, maka kita sedang menyaksikan demokrasi yang dikuasai oleh segelintir elite. Oligarki bukan hanya bertahan, tetapi bereinkarnasi dalam bentuk yang lebih lihai: melalui partai, media, dan ekonomi digital.

2. Pelemahan Lembaga Penegak Etik dan Hukum
Revisi UU KPK, kooptasi terhadap Mahkamah Konstitusi, serta pelemahan independensi lembaga negara, menandakan kembalinya praktik-praktik pseudo-otoritarianisme dalam kerangka demokrasi.

3. Pembusukan Partai Politik
Partai seharusnya menjadi alat artikulasi rakyat. Namun di Indonesia, partai lebih mirip kapal dagang: siapa yang punya logistik, dia yang berlayar. Ideologi digantikan pragmatisme, dan politik nilai digantikan politik dagang sapi.

4. Delusi Pembangunanisme
Dalam kegandrungan terhadap infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, negara kembali lupa pada ketimpangan sosial, krisis ekologis, dan pengingkaran hak masyarakat adat. Kita berjalan cepat, tetapi kehilangan arah moral.


Menuju Reformasi Gelombang Kedua
Reformasi bukanlah prasasti yang selesai dipahat pada 1998. Ia adalah proses pencarian bentuk, yang selalu menuntut koreksi dan pembaruan. Maka dibutuhkan reformasi atas reformasi — sebuah gelombang baru yang lebih dalam, bukan hanya menyentuh prosedur, tetapi menyentuh akar paradigma dan orientasi bernegara.

1. Restorasi Etika Politik
Demokrasi tanpa etika adalah hutan tanpa batas. Pendidikan politik publik harus ditanamkan, bukan hanya dalam wacana akademik, tetapi dalam praktik sehari-hari: transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap martabat warga.

2. Repolitisasi Masyarakat Sipil
Masyarakat sipil harus keluar dari bayang-bayang pragmatisme donor dan kembali menjadi aktor kritis. Gerakan sosial harus menyentuh basis, memproduksi pengetahuan alternatif, dan menantang narasi hegemonik dari negara dan pasar.

3. Desentralisasi Demokrasi
Demokrasi tidak boleh hanya terjadi di Jakarta. Harus ada upaya serius untuk membangun ruang-ruang deliberatif di tingkat lokal: musyawarah warga, partisipasi publik, dan keterbukaan anggaran di desa-desa dan kota-kota.

4. Demokratisasi Ekonomi
Ketimpangan adalah musuh terbesar demokrasi. Distribusi tanah, reforma agraria, ekonomi koperasi, dan penguatan UMKM bukan hanya urusan teknis, tapi bagian dari cita-cita keadilan sosial yang dijanjikan oleh Pancasila.

Demokrasi sebagai Jalan Sunyi
Demokrasi bukan taman yang tumbuh sendiri. Ia harus disirami, dijaga, bahkan dibela dari mereka yang ingin menggunakannya untuk menghancurkannya dari dalam. Reformasi belum selesai. Ia adalah jalan sunyi yang membutuhkan kesabaran, keberanian, dan kesetiaan pada cita-cita awal: Indonesia yang adil, bebas, dan bermartabat.

Mungkin kita belum sampai, tapi sejarah selalu berpihak pada mereka yang tidak menyerah.

Oleh : Adjie Putra Wijaya
Mahasiswa Paramadina, Penggiat Lingkungan

Komentar0

Type above and press Enter to search.