TpOlTfrpTSY5BUO8BSd8Tfr0Gi==

Antara Prabowo, Jokowi dan Soekarno

       Oleh Sumiarto, Aktivis LSM Pelopor

SATYABERITA - Tulisan ini tadinya saya beri judul Jokowi dan Soekarno, karena menemukan relevansinya, setelah 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo. Jadi kita akan omon-omon tiga Presiden RI. 

Ir. Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, salah satu tokoh pendiri bangsa adalah milik bangsa Indonesia, semua orang berhak mengidolakan dan menjadikan sosok panutan, terutama dalam hal ide-ide kebangsaannya.

Dari sudut pandang komunikasi politik, penggunaan jargon dan ide-ide Soekarno oleh Prabowo, Jokowi dan elit politik dalam kampanye dan pidatonya merupakan suatu yang wajar.

Penggunaan simbol-simbol Soekarnoisme dianggap sebagai strategi untuk membangun citra sebagai pemimpin yang nasionalis dan peduli terhadap rakyat. Apalagi dihadapan rakyat yang familier dengan bahasa dan ide-ide Soekarno terutama massa PDI Perjuangan yang mengidolakan Soekarno. Lebih jauh lagi Prabowo dan Jokowi berusaha untuk membangun kesan bahwa mereka adalah pemimpin yang memahami dan peduli terhadap kebutuhan rakyat.

Dengan mengutip ide-ide Soekarno, Prabowo dan Jokowi berusaha untuk mendapatkan basis legitimasi politik dengan menunjukkan bahwa mereka memiliki visi dan misi yang sama dengan Soekarno, yaitu membangun Indonesia yang kuat, mandiri dan sejahtera.

Jokowi mengkomunikasikan ide-ide Soekarno cukup dengan narasi-narasi kedaulatan, kemandirian dan kepribadian yang termaktub dalam nawacita dan revolusi mental. Dia tidak menampilkan gestur dan pidato berapi-api, tapi cukup dengan tampilan sederhana dan kesan merakyat. Hal itu sudah cukup dengan topangan partai PDI Perjuangan yang memang menjadikan Soekarno sosok sentral dan panutan. Dia berhasil menduduki kursi RI 1 dengan sangat cepat dari jenjang walikota, gubernur.

Namun, kenyataannya berbanding terbalik, penggunaan jargon dan ide-ide Soekarno itu hanya sebuah retorika politik sebagai strategi yang manipulatif. Nyatanya Trisakti yang selalu didengungkan Jokowi pada periode pertama, dan semakin berkurang dan hilang di periode kedua, tidak diikuti dengan tindakan nyata dan kebijakan yang konkrit. Banyak kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Soekarnoisme.

Belakangan, menjelang dan sesudah lengser satu persatu kebijakan menyimpang Jokowi terungkap. Ia bahkan menjadi nominator pemimpin terkorup versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).

Bagaimana dengan Prabowo Subianto? Branding Soekarno pada figur Prabowo Subianto sebenarnya sudah dimulai sejak dia mendampingi Megawati pada Pilpres 2009 lalu. Meski masih kalah pamor dengan jargon "Lanjutkan!" ala SBY yang punya kesan tegas dan berwibawa.

Pada 2 kali pemilu selanjutnya 2012 dan 2024 Prabowo secara konsisten menampilkan dirinya dengan simbol-simbol Soekarno, baik dalam gaya busana maupun gaya pidatonya dengan narasi-narasi Soekarnoisme, terutama konsep kedaulatan, kemandiriaan ekonomi dan karakter bangsa.

Pidato yang berapi-api telah membuat banyak orang kesengsem, terhipnotis dalam tagar #AllinPrabowo, suatu simbol tindakan politik yang tidak ada jaman Plato, Karl Marx dan Lenin sekalipun.
All in Prabowo mengisyaratkan dukungan tanpa syarat, apapun kondisinya tetap dukung penuh. Tak peduli punya rekam jejak politik buruk, terlibat pelanggaran HAM, punya banyak lahan perusak hutan, punya wapres instan anaknya Jokowi dan seterusnya.
Rupanya Prabowo selain menampilkan sisi-sisinya seperti Soekarno, ia juga merasa nyaman dengan perlakuan Jokowi yang telah mengalahkannya 2 kali. Pengangkatannya sebagai Menteri Pertahanan membuatnya tersanjung. Kesempatan itu ia gunakan untuk menyusun kemenangan di pemilu 2024, mungkin saja itu adalah salah satu isian kesepakatan antara keduanya. Sebagai seorang militer, Prabowo menunjukan sikap loyal pada Jokowi yang menegaskan pada periode ke 2 ia tidak ada beban. Entah beban apa yang ia maksud, tapi sepertinya kita semua paham. Syahdan, dengan massifnya bansos, penggunaan failitas negara dan pasukan buzzer pemilu berhasil mereka menangkan dengan segudang problematika.

Kini, Prabowo telah jadi Presiden RI ke-8 kuasa penuh sudah ia genggam. Gaya dan narasinya pun masih tetap Soekarnois. Tentu saja ia akan berusaha menjalankan ide-idenya selama kampanye dan yang ada dalam buku "Paradoks Indonesia dan Solusinya" yang ia tulis tahun 2023 lalu.

Namun, realitas politik mengharuskannya mengakomodir unsur-unsur lama dan bermasalah. Bayang-bayang Jokowi masih melingkupinya, entah dia merasa nyaman terlindungi atau merasa tersandera deal politik sebelumnya?

Prabowo sudah pasti paham 100% bahwa Jokowi dan orang-orang yang berhasil diposisikan dalam Kabinet Merah Putih mempunyai masalah yang bisa mengganggu kepemimpinannya. Namun Prabowo kelihatannya lebih memilih untuk tetap menjaga hubungan baik dengan Jokowi.
Bahkan bukan hanya hubungan baik yang ia kesankan, tapi lebih pada mengidolakan sehingga dia rela mempertaruhkan kehormatannya sebagai Presiden dengan memekikan "Hidup Jokowi" berkali-kali dihadapkan rakyat. Sebelumnya ia gusar ada pihak-pihak yang akan memisahkannya dengan Jokowi. Suatu yang menggelikan.

Betapa kuat dan besar kah sandera politik Jokowi ke Prabowo, begitu banya kah "kartu" Prabowo yang dipegang Jokowi? Apa yang terjadi ketika Prabowo melempem soal korupsi, yang sebelumnya akan mengejar koruptor sampai Antartika, tiba-tiba ingin memaafkannya? Entahlah...

Kemesraan Prabowo dan Jokowi itu apakah cocok dengan karakter Soekarno yang mereka gunakan sebagai branding politik?

Yang pasti, Prabowo masih menggunakan Soekarno sebagai branding politiknya. Dalam peluncuran Danantara tempo hari, bahkan menggunakan potongan video pidato Soekarno yang menyerukan :

"Revolusi Indonesia, adalah revolusi tanpa Mati, Ayo maju terus....!"

Prabowo tahu betul bagaimana harus menyajikan Danantara di hadapkan rakyat dan di kalangan mahasiswa serta kelompok kritis. Dia merasa masih banyak yang salah mengerti dan salah paham akan Danantara dan berbagai kebijakannya.
Untuk itu dia merasa perlu tetap menggunakan Soekarno dan mengutip langsung pasal 33 UUD 1945.

Danantara adalah produk yang di branding dengan carakater dan ide Soekarno, UUD 1945 serta Pancasila, namun dijalankan dengan melibatkan banyak unsur yang mempunyai konflik kepentingan dan politik. Para punggawa dan pengurusnya sangat dekat dengan lingkaran oligarki dan kekuasaan. Jokowi yang masih jadi sorotan didapuk sebagai penasihat bersama SBY. Pelibatan orang asing Tony Blair juga manjadi tanda tanya besar, apa urgensinya. Untuk menunjukan citra baik dihadapan dunia masih banyak tokoh nasional yang kredibel dan mampu.

Dalam konteks ini, pengaruh penggunaan jargon dan ide-ide Soekarno terhadap citra Prabowo akan sangat tergantung pada bagaimana dan dengan siapa kebijakan dijalankan.

Jika Soekarno menyerukan ide-ide nya berdasarkan ideologi, Jokowi dan Prabowo dilandasi ambisi politik transaksional.

Rupanya teriakan mahasiswa dan rakyat tentang Indonesia Gelap masih akan terus berlanjut, sampai Panggang tak jauh dari Api. (AR)

Komentar0

Type above and press Enter to search.