TpOlTfrpTSY5BUO8BSd8Tfr0Gi==

Penguatan Lembaga Adat Betawi

Oleh: Achmad Fachrudin
Akademisi dari Universitas PTIQ Jakarta

Dalam suasana eforia peringatan HUT Jakarta ke-498, barangkali tepat jika kita gunakan sebagai momentum  untuk melakukan evaluasi dan refleksi tentang eksistensi masyarakat dan kebudayaan Betawi di era global city. Pertanyaan umumnya, apakah masyarakat dan kebudayaan Betawi sudah menjadi imagine communty (komunitas yang dibayangkan) dalam istilah Benedict Anderson, tipe ideal (ideal type)  dalam istilah Max Weber, atau tepatnya negara/kota ideal (Madinatul Fadhilah) versi Al-Farabi? Sebagaimana diidealisasikan para pendiri Jakarta seperti Mohammad Husni Thamrin, Ismail Marzuki, Ali Sadikin, dan lain-lain. 

Jika jawabannya belum dan pastinya memang belum, suatu ikhtiar untuk mewujudkan impian Thamrin, Ismail atau Ali, harus terus diikhtiarkan. Banyak jalan menuju Roma. Salah satu caranya adalah dengan melakukan penguatan Lembaga Adat Betawi (LAB).  Boleh dikatakan, penguatan LAB merupakan kebutuhan mendesak dan menjadi conditio  sine qoa non guna memberi solusi atas kendala dalam pemajuan masyarakat dan kebudayaan Betawi dari tingkat  hulu. Jika ini berhasil dilakukan, diyakini problem di tingkat hilir akan lebih mudah diselesaikan. 

Fenomena dan realitas semacam ini, sebenarnya presedennya sudah ada di sejumlah daerah. Misalnya di Sumatera Barat: dengan  sistem Nagari dan Kerapatan Adat Nagari (KAN) menjadi pilar kehidupan sosial. Di Bali, Majelis Desa Adat (MDA) tidak hanya dilestarikan, tetapi juga diperkuat secara hukum dengan terbitnya Perda Provinsi Bali No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali (baca: Perda Desa Adat), sebagai otoritas adat dalam pelestarian budaya, pengelolaan desa, dan penyelesaian konflik. Di Kalimantan, Lembaga Adat Dayak mendapat perlindungan hukum serta kewenangan dalam mengelola wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan.

Di Aceh, Lembaga Adat seperti Mukim dan Wali Nanggroe tidak hanya memainkan peran simbolis, tetapi juga fungsional dalam tata kelola pemerintahan lokal, termasuk pelestarian Syariat Islam dan budaya Aceh.  Dalam bidang ekonomi, lembaga adat ikut terlibat dalam pengelolaan zakat, wakaf, dan hasil bumi berbasis komunitas. 

Di Papua, Dewan Adat Papua (DAP) aktif memperjuangkan hak masyarakat adat di tingkat lokal dan nasional. Mereka mendorong ekonomi berbasis hutan dan kearifan lokal serta mendukung otonomi khusus berlandaskan nilai adat. Hal serupa terjadi di Kalimantan Tengah, di mana Lembaga Adat Dayak berperan penting dalam menjaga wilayah adat, mengembangkan ekonomi berkelanjutan, dan memperjuangkan pengakuan hak konstitusional masyarakat adat.

Perda Kebudayaan Betawi

UU No. 2 Tahun 2022 tentang Daerah Khusus Jakarta (DKJ) tidak mengatur secara eksplisit bentuk lembaga adat. Hal ini membuka ruang bagi Pemprov dan DPRD DKI Jakarta serta tokoh dan pemikir Kebudayaan Betawi untuk melakukan curah pikir dan berkolaborasi untuk merumuskan dan mendesain suatu pengaturan paling feasible dan efektif dalam memajukan masyarakat dan Kebudayaan Betawi.  

Pengaturan mengenai hal ini, sependek informasi yang penulis miliki,  sudah terdapat pada Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Provinsi Daerah Khusus Ibukota tentang Pemajuan Kebudayaan Betawi (PKB). 

Di dalam draf Raperda tersebut,  yang bisa diakses di https://www.google.com/search?q, diantara pengaturannya terkait Majelis Kaum Betawi (MKB). Institusi  ini didesain sebagai lembaga kultural tertinggi masyarakat Betawi yang bersifat independen. 

Dengan keanggotaan MKB terdiri dari organisasi, yayasan, perkumpulan, lembaga, dan 16 kelompok masyarakat Betawi yang tidak bersifat perorangan. Adapun Struktur Organisasi MKB terdiri dari: a. Majelis Adat Kaum Betawi; b. Pemangku Adat Kaum Betawi; c. Wali Adat Kaum Betawi; d. Hulu Balang/Dedengkot Kaum Betawi; dan e. Laskar Adat Kaum Betawi. 

MKB memiliki tugas utama memajukan kebudayaan Betawi melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. MKB juga membina adat-istiadat, memediasi konflik antarkomunitas Betawi, serta memberi masukan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta—baik diminta maupun tidak.

Selain itu, MKB berwenang memberi pertimbangan terkait jenis dan bentuk kebudayaan Betawi, merekomendasikan program kebudayaan, menyusun kegiatan organisasi, menyelenggarakan musyawarah dan rapat, menetapkan anggaran dasar/rumah tangga, memberi gelar adat, dan menetapkan kriteria masyarakat Betawi.

Sementara pendanaan MKB dapat berasal dari sumber mandiri, hibah pemerintah pusat dan provinsi, maupun pihak swasta, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengaturan lebih lanjut terkait pembentukan, struktur, dan tata kelola MKB akan diatur dalam anggaran dasar berdasarkan pedoman gubernur.

Sahkan Raperda PKB

Manakala sumber hukum pemajuan masyarakat dan kebudayaan Betawi sudah ada, yakni: UU No. 2 tahun 2022 tentang DKJ dan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan di Indonesia serta draf Raperda PKB yang di dalamnya antara lain mengatur tentang MKB atau LAB sudah tersedia,  maka pekerjaan rumah selanjutnya adalah membahas dan menuntaskan Raperda tentang PKB. Pembahasan dan pengesahan Raperda harus menjadi skala perioritas DPRD DKI pada tahun 2025.

LAB atau MKB  idealnya menjadi wadah tunggal dan tertinggi, seperti Majelis Tinggi dalam Partai Demokrat, atau mengadopsi model kepemimpinan Muhammadiyah yang kolektif-kolegial, demokratis, dan berbasis nilai Islam berkemajuan. Mekanisme pemilihan Pimpinan LAB/MKB boleh juga dapat meniru Muhammadiyah, di mana peserta memilih formatur tanpa kampanye personal dan politik uang, melalui sistem tertutup atau e-voting.

Guna memperkuat LAB/MKB, dalam susunan kepengurusannya terdiri dari representasi tokoh dan Organisasi Kemasyarakatan Betawi. Dan perlu perlu dipertimbangkan  ditambah perwakilan dari Pejabat teras di Pemprov DKI (ex officio) serta perwakilan dari petinggi di DKJ lainnya, seperti dari Pimpinan DPRD DKI (bisa ex officio), perwakilan politisi Betawi di DPR RI, DPD RI, TNI atau Polri.   

Dengan cara demikian, maka institusi LAB/MKB, atau apapun namanya, akan menjadi  institusi yang representatif, dan powerful dalam melaksanakan tugas dan fungsi organisasi. Terpentng LAB/MKB mempunyai posisi tawar menawar kuat (bargaining power) terhadap Pemprov DKI dan DPRD DKI terkait dengan perjuangan aspirasi dan kepentingan etnis Betawi, baik dalam bidang politik, ekonomi, kebudayaan, anggaran, dan sebagainya. Jadi, bukan sekadar lembaga konsultasi dan pemberi pertimbangan yang tidak mengikat.

Untuk mewujudkan LAB/MKB yang powerful, diperlukan visi dan prinsip yang sama, tertama di kalangan tokoh dan elit Betawi. Yakni: Persatuan (ukhuwwah terutama ukuhuwwah Islamiyah), musyawarah, kepentingan bersama, gotong royong,  dan sebagainya. Berbagai prinsip tersebut, harus menjadi spirit, ruh atau code of conduct serta ikatan solidaritas organik maupun mekanik  dalam berorganisasi di kalangan tokoh dan masyarakat Betawi. Khususnya yang tergabung di LAB/MKB.

‘Mimpi’ indah tentang LAB/MKB yang powerful semacam ini hanya akan terwujud nyata jika segala syahwat, egoisme (ananiyah),  dan kepentingan pribadi atau kelompok dikalahkan demi kepentingan organisasi. Tanpa prasyarat tersebut, maka sampai kapankan mewujudkan suatu wadah berhimpun solid dan mampu berfungsi sebagai instrument efektif dan kolektif dalam memajukan masyarakat dan Kebudayaan Betawi,  sulit terwujud.

Simpul Kekuasaan dan Kelompok Strategis

Momentum politik dan simpul-simpul politik, kekuasaan dan pengaruh mewujudkan LAB/MKB  yang powerful sudah tersedia. Dimulai dari Gubernur DKI Pramono Anung 2025-2030 yang memiliki komitmen tinggi dan kuat serta getol mengkampanyekan memajukan masyarakat dan Kebudayaan Betawi saat Pilgub DKI 2024. 

Kemudian, Wakil Gubernur DKI Rano Karno terpilih dianggap merepresentasikan etnis Betawi dan sekaligus pesohor dan budayawan Betawi. Lalu ada Sekda Provinsi DKI (Marullah Matali), dan Ketua DPRD DKI (Khoirudin). Yang dikenal sebagai elit birokrasi dan elit politik asal Betawi.

Simpul-simpul elit politik tersebut, harus gerak cepat (gercep) melakukan konsolidasi untuk membahas dan mensahkan Raperda tentang PKB dengan mengacu atau bersumber  kepada UU No. 2 tahun 2022 tentang DKJ atau UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan di Indonesia. Tujuan akhirnya adalah menjadikan masyarakat Betawi menjadi tuan rumah di negerinya sendiri di era global city. 

Meski demikian, karena tidak jarang simpul-simpul kekuasaan  mempunyai banyak urusan dan tanggungjawab yang harus dilakukan dan diselesaikan, maka dibutuhkan kelompok-kelompok di luar kekuasaan yakni: kelompok strategis dan kelompok penekan khususnya dari kalangan etnis Betawi yang serius dan fokus untuk memberi masukan berkualitas, konkrit dan terukur serta mampu mempercepat perwujudan pembahasan dan pengesahan Raperda tentang PKB minimal rampung pada 2025. 

Jika ada  desain atau pikiran cerdas versi lain tentang LAB/MKB yang powerful, atau cara lain yang lebih efektif dalam memperjuangkan untuk memajukan masyarakat dan Kebudayaan Betawi, silakan dikirimkan ke Pemprov DKI dan DPRD DKI Jakarta yang bertanggungjawab dan bertugas membahas Raperda tentang PKB. Lobi-lobi politik tingkat tinggi kadang dibutuhkan untuk menggolkan Perda PKB yang sarat dengan berbagai agregasi dan kontestasi kepentingan di seputar isu ini. 

Setelah itu Perda PKB disahkan dan diterbitkan, organisasi sejenis LAB/MKB jika sudah ada, segera bertransformasi sesuai dengan pengaturan Perda tentang PKB.  Selanjutnya, semua elemen dan komponen Betawi bersatu, solid, kompak, rukun, gercep, kerja cerdas, keras  dan berkualitas. Jangan seperti pameo revolusi yang yang “memakan anak-anaknya sendiri." Di bawah LAB/MKB yang powerful dan efektif, diharapkan dapat berfungsi menjadi inner dynamic dan diriving forces berbagai potensi sumber daya Betawi di era global city.

Komentar0

Type above and press Enter to search.