Oleh: Achmafd Fachrudin
Penggiat Literasi Budaya dan Demokrasi
Rencana Pemprov DKI Jakarta untuk mengambil kendali dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pemajuan Kebudayaan Betawi (PKB), tampaknya tidak bisa dibendung. Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno merencanakan langkah tersebut akan direalisasikan mulai Agustus 2025. Sehingga pada 2026, Raperda tentang PKB sudah dibahas dan disahkan. Insiatif bang Doel, demikian Rano Karno biasa disapa, dilakukan agar terdapat payung hukum dalam pemajuan masyarakat dan kebudayaan Betawi di era global city.
Raperda tentang PKB sangat strategis, terutama paska Jakarta secara formal tidak lagi menjadi ibukota negara Republik Indonesia melainkan hanya menjadi daerah khusus. Seperti ditekankan Rano Karno, sesuai UU No. 2 Tahun 2022 tentang Jakarta Daerah Khusus/DKJ, Jakarta harus menjadi kota global berbasis budaya lokal (Betawi). Jadi, budaya Betawi harus menjadi mainstream atau soko guru bagi berbagai jenis kebudayaan lainnya di Jakarta yang demikian banyak dan kaya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Isu Raperda tentang PKB sebenarnya sudah lama menjadi bahan perbincangan hangat di kalangan intelektual, budayawan dan aktivis Betawi. Bahkan sejumlah perbincangan sudah dilakukan secara serius. Untuk kegiatan berskala besar, setidaknya sudah dilakukan tiga kali oleh Kaukus Muda Betawi (KMB). Terakhir pada 2 Juni 2025 KMB menggelar Sarasehan III dengan tema peran dan posisi Lembaga Adat Masyarakat Betawi. Teranyar (Selasa, 15/7), Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) Pimpinan H. Abdul Goni menggelar Fokus Group Discussion (FGD) dengan mengangkat tema "Pemajuan Kebudayaan Betawi".
Berbagai intellectual exercise tersebut menghasilkan rekomendasi, pokok-pokok pikiran, draf akademis atau draf Raperda tentang PKB. Begitupun, finalisasi naskah akademik atau sejenisnya yang mewakili satu kepentingan masyarakat Betawi, belum tersedia. Andai kata sudah tersedia, belum terinformasi secara luas kepada publik telah secara resmi diserahkan oleh perwakilan masyarakat Betawi kepada Pemprov DKI maupun DPRD DKI sebagai bahan masukan dalam pembahasan Raperda tentang PKB.
Sementara dari sisi Pemprov DKI Jakarta, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Wakil Gubernur DKI Rano Karno, sudah lama (istilah Bahasa Betawi ngebet) menunggu naskah akademik, atau apapun namanya, yang mewakili satu kepentingan masyarakat Betawi. Raperda tentang PKB sendiri merupakan revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Sekaligus sebagai tindak lanjut dari amanat UU No. 2 Tahun 2022 tentang DKJ maupun UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Konsekwensi Logis
Dengan diambil kendali inisiatif penyusunan naskah akademik Raperda tentang PKB, bisa ditafsirkan sebagai wujud dari komitmen nyata dari Pemprov DKI Jakarta untuk memajukan masyarakat dan kebudayaan Betawi. Sekaligus sebagai kritik terhadap Ormas Betawi. Entahlah beberapa hari ke depan. Mungkin saja akan ada naskah akademik tentang Raperda PKB yang mewakili satu kepentingan masyarakat Betawi, diserahkan kepada Pemprov DKI/DPRD DKI. Dengan demikian, nantinya Pemprov DKI Jakarta akan menjadikannya sebagai acuan utama dalam penyusunan naskah akademik versi Pemprov DKI dalam pembahasan resmi Raperda tentang PKB bersama DPRD DKI Jakarta.
Secara peraturan perundangan, tidak ada yang dilanggar manakala perwakilan Ormas Betawi tidak menyerahkan pokok-pokok pikiran atau naskah akademik ke Pemprov DKI dan DPRD DKI Jakarta Raperda tentang PKB. Sebab, sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 236 ayat (1), Raperda adalah hasil inisiatif bersama antara Pemerintah Daerah (Gubernur DKI Jakarta) dan DPRD DKI Jakarta. Keduanya memiliki kewenangan dalam pembahasan dan penetapannya. Problemnya bagi masyarakat Betawi lebih bersifat politis dan etis karena Raperda tersebut menyangkut kepentingan langsung masyarakat Betawi.
Argumen pentignya Ormas Betawi menyampaikan naskah akademik atau dalam versi draf Raperda tentang PKB, sederhana saja: karena yang paling mengetahui problem, aspirasi dan keinginan etnis Betawi sejatinya adalah etnis Betawi itu sendiri. Jika Ormas Betawi tidak menyerahkan naskah akademik Raperda tentang PKB ke Pemprov DKI/DPRD DKI, secara otomotis maka penyusunan naskah akademis/draf Raperda tentang PKB akan diambil alih oleh Pemprov DKI. Selanjutnya, akan dibahas oleh DPRD DKI Jakarta.
Meskipun tidak mengusulkan naskah akademik, sangat mungkin ada perwakilan tokoh dan Ormas Betawi dilibatkan dalam penyusunan naskah akademis. Pastinya, bakal diundang pada pembahasan Raperda tentang PKB. Di dalam forum tersebut, perwakilan masyarakat Betawi harusnya satu visi, tujuan dan bahasa. Bukan hanya itu, perwakilan Betawi di dalam forum legislasi, harus kritis dan vokal serta eksplisit, tentu dengan argumentasi yang rasional dan logis, dalam memperjuangkan dan menyuarakan muatan substansi Raperda tentang PKB yang diinginkan.
Ditekankan soliditas perwakilan Ormas Betawi di dalam forum legislasi yang demikian plural aspirasi dan kepentingan politiknya. Jangan sampai masing-masing tokoh atau Ormas Betawi mengajukan gagasan atau usulan berbeda satu sama lainnya dalam pembahasan Raperda tentang PKB. Jika hal ini terjadi, bukan hanya akan menyulitkan pihak Pemprov DKI dan DPRD DKI dalam mengambil keputusan. Paling dikuatirkan, Raperda tentang PKB tidak menghasilkan pengaturan yang terbaik bagi kepntingan masyarakat Betawi khususnya dan masyarakat Jakarta pada umumnya kini dan jangka panjang.
Berharap pada Majelis Kaum Betawi
Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno serta Ketua DPRD DKI Khoirudin adalah elit politik yang direpresentasikan dari etnis Betawi. Pastinya akan berusaha keras mengakomodasi aspirasi dan kepentingan masyarakat Betawi dalam penyusunan dan pembahasan Raperda tentang PKB. Meski demikian, karena forum legislasi di DPRD DKI berdimensi lintas sektoral, baik lokal (Jakarta) dan nasional (Pemerintah Pusat) dan real politics: komposisi keanggotaan di DPRD DKI merupakan minoritas, maka segala kemungkinan terkait muatan Raperda tentang PKB, bisa saja tidak sesuai dengan aspirasi umum masyarakat Betawi.
Maka jalan yang paling masuk akal akal, jika masih terdapat krikil perbedaan pandangan seputar muatan, substansi dan pasal-pasal krusial tentang Raperda tentang PKB, harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mekanisme musyawarah/demokrasi internal di lingkungan Ormas Betawi. Idealnya dan seharusnya, satu institusi yang menjadi wadah tunggal untuk menyatukan dan memperjuangkan gagasan dan kepentingan orang Betawi dalam Raperda tentang PKB, mutlak adanya.
Wadah tersebut sebenarnya sudah tersedia, yakni: Majelis Adat Bamus Betawi (MAB). Dalam suatu momen silaturahmi dan buka puasa bersama MKB yang dihadiri oleh Gubernur DKI Pramono Anung dan Ketua DPRD DKI Khoirudin, di pelataran Masjid Jami Tangkuban Perahu, Setiabudi, Jakarta Selatan, Jumat (21/3/2025), Fauzi Bowo, salah seorng pimpinan MKB, menyatakan kesyukurannya bahwa semua komponen masyarakat Betawi kini lebih bersatu dan kompak dalam wadah MKB. Kekompakan tersebut kini diuji dalam pembahasan Raperda tentang PKB.
Agar perjuangan di medan legislasi efektif dan maksimal, MKB harus mengambil inisiatif dengan membentuk suatu tim khusus dengan berbagai kompetensi dan keahlian guna mempersiapkan aspirasi masyarakat Betawi pada Raperda tentang PKB. Idealnya, dalam pembahasan Raperda tentang PKB, MKB menjadi komandan dan sekaligus juru bicara. Sehingga selain menunjukkan soliditas tokoh dan ormas Betawi, juga agar memudahkan dan mengefektifkan dalam menggolkan Raperda tentang PKB sesuai aspirtasi dan kepentingan masyarakat Betawi.
Sejumlah Isu Krusial
Banyak isu krusial pada pembahasan Raperda PKB. Diantaranya tentang Lembaga Adat Masyarakat Betawi (LAMB). Pada dasarnya hampir semua Ormas Betawi setuju dengan adanya LAMB. Sebagai hirarki tertinggi dalam struktur Ormas Betawi. Hal ini dibuktikan dengan bergabungnya hampir Semua Pimpinan Ormas Betawi dalam Majelis Adat Bamus Betawi (MAB). Untuk itu, pengaturan tentang kedudukan, fungsi dan kewewenangan LAMB harus diperjelas dan dipertegas hingga menjadi powerful dalam Raperda tentang PKB.
Sebelum memutuskan desain Lembaga Adat yang paling compatible dengan DKJ, tidak salah untuk melakukan studi banding dengan Lembaga sejenis. Misalnya Sistem Nagari dan Kerapatan Adat Nagari (KAN) di Sumatera Barat, Majelis Desat Adat (MDA) di Bali, Dewan Adat Papua (DAP) di Papua, Majelis Adat Aceh (MAA) di Aceh, dan lain-lain. Berbagai jenis Lembaga adat tersebut mempunyai karakteristik tersendiri. Berbagai lembaga adat tersebut dianggap memiliki legitimasi kuat, baik secara adat maupun administrasi daerah. Sehingga cukup efektif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Bagi masyarakat Betawi, LAMB yang mempunyai kekuatan hukum setingkat Perda, sangat penting dan mendesak. Selain untuk kepentingan konsolidasi organisasi dan mengefektifkan kepemimpinan di kalangan mitranya di lingkungan eksekutif maupun legislatif, ketiadaan LAMB atau sejenisnya yang memiliki legitimasi kuat secara adat maupun politik serta powerful menjadi salah satu penyebab belum sepenuhnya secara efektif dan maksimal dalam memperjuangkan nasib masyarakat, kebudayaan dan pelaku budaya Betawi.
Isu seksi dan ‘panas’ lainnya adalah tentang pengelolaan dana abadi kebudayaan Betawi. Berdasarkan UU No. 2 tahun 2024 tentang DKJ Pasal 31, pemerintah provinsi memiliki wewenang untuk menganggarkan dana abadi kebudayaan dari APBD dan mengusulkan tambahan dana kepada pemerintah pusat. Di Raperda dan Perda tentang PKB yang akan disahkan, harus ditegaskan secara eksplisit pihak lembaga/pengelolanya. Tujuannya agar dana abadi kebudayaan dapat dikelola secara profesional, transparan dan akuntabel serta didistribusikan secara adil, proporsional dan tepat sasaran untuk memajukan masyarakat dan kebudayaan Betawi, khususnya bagi para pelaku kebudayaanya.
Pada sarasehan III yang digelar Forkabi, Frans Maniagasi, seorang intelektual asal Papua, mempersoalkan mengenai tiadanya definisi mengenai orang Betawi dalam Perda No. 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Untuk itu, ia menyarankan agar pada pembahasan Raperda tentang PKB dimasukkan. Selain mengacu kepada Pengalaman UU Otomi husus (Otdasus) Papua yang mendefinisikan orang Papua, dengan adanya definisi khusus dan jelas tentang orang Betawi, akan memudahkan mengidentifikasi siapa yang dimaskud orang Betawi, dan juga strategi memperjuangkan nasibnya. Barangkali isu mengenai definisi orang Betawi, perlu dipertimbangkan dan dimasukkan dalam agenda pembahasan draf Raperda tentang PKB.
Peran Gubernur dan Wakil Gubernur DKI
Sebenarnya sejumlah Perda atau Pergub terkait dengan pemajuan masyarakat dan kebudayaaan Betawi, sudah cukup banyak. Yang sangat kurang adalah pada tataran ekskusi atau implementasi. Berangkat dari Pengalaman di daerah lain dan juga di Jakarta dari Gubernur ke Gubernur DKI, eksekusi atau implementasi Perda atau Pergub, banyak tergantung Pemprov DKI Jakarta. Termasuk pengenaan sanksi administrasi bagi pelanggarnya. Sebab Pemprov DKI Jakarta, yang mempunyai kedudukan sebagai regulator, kebijakan dan fasilitator. Sementara Ormas Kebetawian dan para pelaku atau penikmat kebudayaan, sejatinya lebih sebagai operator, pelaksana, atau penikmat.
Dengan demikian, jika ingin paska disahkan Perda tentang PKB ingin terlaksana secara konkrit, maka Pramono Anung dan Rano Karno sebagai Gubernur DKI dan Wakil Gubernur DKI, harus menjadi pemegang kendali utama, komando, lokomotif dan berada di garda terdepan dalam penerapan Perda tersebut secara konsisten dan konkrit dalam pelaksanaan Perda tentang PKB.
Selain juga menerapkan prinsip reward and punishment dalam implementasi Perda tentang PKB, sesuai peraturan perundangan kepada siapa atau pihak manapun yang melaksanakan atau sebaliknya melanggar Perda tentang PKB sesuai dengan kedudukan, fungsi dan tugasnya. Baik di lingkungan Pemprov DKI maipun non Pemprov DKI Jakarta. Sebab, pada dasar realisasi Perda sifatnya mengikat bagi setiap warga negara Indonesia yang tinggal di Jakarta.
Last but not least, soliditas dan kekompakan berbagai elemen dan komponen Ormas Betawi dalam memperjuangkan kepentingan bersama masyarakat dan kebudayaan Betawi, sejauh ini masih menjadi perbincangan hangat. Maka, dengan kehadiran UU No. 2 tahun 2022 tentang DKJ dan pembahasan Raperda tentang PKB, menjadi anugerah, momentum serta sekaligus ujian. “Jika bukan orang Betawi sendiri yang memperjuangkan Raperda tentang LKB siapa lagi. Jika tidak sekarang, kapan lagi”.
Komentar0