Oleh: Ical Syamsudin, S.Sos.
Aktivis pegiat anti korupsi, Sekjen DPN LAKRI
Dari tragedi Kanjuruhan 2022 hingga Pejompongan 28 Agustus 2025, darah rakyat terus mengalir di jalanan. Aparat yang seharusnya menjadi pelindung justru menjelma alat represif negara. Affan Kurniawan (21), pengemudi ojek online, tewas ditabrak kendaraan taktis Brimob; Moh Umar Amarudin (30) kritis. Pertanyaannya: apakah nyawa rakyat sedemikian murahnya di republik ini?
Pasal 28G UUD 1945 Dikhianati, Pasal 30 Disalahpahami
Konstitusi sudah tegas: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya…” (Pasal 28G ayat 1 UUD 1945). Kepolisian diamanatkan “memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat” (Pasal 30 ayat 4 UUD 1945).
Namun realitas di lapangan justru sebaliknya: gas air mata, tembakan jarak dekat, pemukulan brutal, hingga penangkapan tanpa prosedur yang proporsional. Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, ini pengkhianatan konstitusi.
UU HAM No. 39 Tahun 1999: Hak Hidup Itu Non-Negotiable
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 4, menegaskan:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, serta hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Ketika aparat negara merenggut nyawa rakyat dengan dalih pengamanan aksi, itu bukan lagi pelanggaran etik-itu pelanggaran HAM berat.
ICCPR: Komitmen Internasional yang Dikhianati
Indonesia bukan negara yang buta terhadap standar internasional. Melalui UU No. 12 Tahun 2005, Indonesia telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Pasal 6 ayat (1) ICCPR menegaskan:
“Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.”
Terjemahan bebasnya: Setiap manusia memiliki hak hidup yang melekat. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun boleh dirampas nyawanya secara sewenang-wenang.
Setiap kali aparat menggunakan kekerasan mematikan terhadap demonstran damai, negara tidak hanya melanggar UUD 1945 dan UU HAM, tetapi juga komitmen internasional yang telah ia tandatangani sendiri.
Kapolri: Mundur Demi Marwah atau Menunggu Dipecat?
Di negara yang sehat demokrasinya, pejabat publik mundur karena gagal menjaga martabat institusi. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo kini berada di persimpangan: mengundurkan diri dengan kehormatan, atau menunggu dipecat dengan catatan sejarah kelam.
Angket Forum Tanah Air (FTA) Mei 2025 menunjukkan 62,5% diaspora di 5 benua dan 38 provinsi menilai kinerja Polri buruk, dan 28,4% menilai kurang baik. Nama Listyo pun masuk daftar teratas pejabat yang diusulkan di-reshuffle.
Kekerasan yang Menjadi Pola, Bukan Kebetulan
Mari berhenti pura-pura: ini bukan soal oknum, ini soal budaya impunitas.
Kanjuruhan 2022: 135 orang tewas akibat gas air mata yang dilarang FIFA dan diawasi OPCW.
Jakarta 2019: 52 jiwa melayang saat protes RKUHP.
Semarang 2024: 33 luka, 32 ditangkap terkait UU Pilkada.
Berau: demonstran anti tambang dikejar dan diintimidasi.
Selalu ada korban, selalu ada maaf, tapi kapan ada keadilan?
Presiden Prabowo: Inpres atau Inkonsistensi?
Presiden Prabowo tidak bisa terus berdiam diri. Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 UUD 1945, ia memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi. Dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI menyebut Kapolri berada di bawah Presiden.
Jika serius melakukan reformasi, Presiden harus segera:
1. Mengeluarkan Inpres penghentian penggunaan gas air mata dalam penanganan aksi damai.
2. Melakukan audit dan evaluasi total SOP pengamanan demonstrasi.
3. Menindak pelaku kekerasan dengan mekanisme terbuka dan sanksi nyata.
Reformasi atau Reproduksi Kekerasan?
Setiap darah yang tumpah tanpa pertanggungjawaban adalah pengkhianatan terhadap sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Reformasi Polri sudah berumur lebih dari dua dekade, tetapi budaya kekuasaan masih bercorak Orde Lama: represif, brutal, dan sulit dikoreksi.
Jika Presiden Prabowo membiarkan pola ini bertahan, sejarah akan mencatatnya bukan sebagai pembaru, tetapi pelanjut tradisi kekerasan negara terhadap rakyatnya.
Komentar0