SATYABERITA - Buat warga kota besar, macet itu udah kayak sarapan: tiap hari ada. Solusi yang sering dipilih pemerintah? Jalan dilebarin. Kalau masih kurang lebar, trotoar pun ikut “disunat”.
Padahal, pelebaran jalan itu cuma obat sesaat. Jalan baru memang keliatan longgar, tapi sebentar aja sudah penuh lagi. Fenomena ini ada istilah kerennya: induced demand. Intinya, makin gampang mobil masuk, makin banyak orang bawa mobil. Hasilnya? Ya macet lagi, balik ke titik awal.
Tapi jangan salah. Ada kok kota-kota di dunia yang berhasil ngurangin macet tanpa harus mengorbankan trotoar. Malah mereka bikin trotoar makin lebar dan nyaman. Yuk, intip kisah suksesnya.
Singapura: Mobil Mahal, MRT Murah
Sejak 1970-an, Singapura sadar: negaranya kecil, nggak bakal kuat nampung mobil sebanyak-banyaknya. Solusinya cerdas: bikin mobil jadi barang mewah. Ada aturan COE (sertifikat kepemilikan) yang bikin harga mobil meroket, plus tarif ERP buat masuk jalan tertentu.
Di sisi lain, transportasi publiknya digarap serius: MRT dan bus yang rapi, bersih, dan tepat waktu. Hasilnya, mayoritas orang Singapura lebih milih naik transportasi umum. Trotoar mereka juga adem, lega, dan nggak kepotong demi jalur mobil.
Tokyo: Hidup Berputar di Kereta
Bayangin, Tokyo itu penduduknya belasan juta, tapi nggak hancur-hancuran macet. Rahasianya? Kereta. Subway dan commuter line jadi tulang punggung. Orang bisa pindah dari ujung kota ke ujung lain tanpa pusing mikirin parkir.
Trotoarnya juga asik. Di sekitar stasiun, selalu rame orang jalan kaki, belanja, nongkrong. Kota ini membuktikan: kalau transportasi publik kuat, mobil pribadi jadi pilihan terakhir, bukan utama.
Seoul: Jalan Layang Dibongkar, Sungai Dihidupin
Awal 2000-an, Seoul bikin keputusan gokil: mereka bongkar jalan layang Cheonggyecheon. Bukannya dilebarin, malah dihapus. Sungai yang selama ini ketutup beton dihidupin lagi, jalur pejalan kaki dibagusin, transportasi umum diperkuat.
Awalnya banyak yang protes, tapi hasilnya bikin semua orang kaget: udara lebih bersih, kota lebih cantik, turis berdatangan, dan macet malah berkurang.
*Bogotá: Revolusi BRT dan Sepeda*
Dulu Bogotá, Kolombia, macetnya parah banget. Tapi wali kotanya, Enrique Peñalosa, bikin gebrakan: bikin sistem TransMilenio (bus rapid transit) dengan jalur khusus, trotoar lebar, dan jalur sepeda di mana-mana.
Setiap Minggu ada acara CiclovÃa: jalan utama ditutup buat mobil, dikasih ke pesepeda dan pejalan kaki. Jadinya, warga terbiasa mikir: mobil itu bukan segala-galanya.
Kopenhagen: Kota Sepeda, Bukan Kota Mobil
Kalau denger Kopenhagen, pasti langsung kepikiran sepeda. Tapi tahu nggak? Itu hasil keputusan berani sejak 1960-an. Pemerintahnya nekat: kapasitas jalan buat mobil dikurangi, diganti jalur sepeda dan trotoar lebih luas.
Sekarang, lebih dari 60% warganya gowes tiap hari. Kopenhagen pun terkenal sebagai kota yang manusiawi: nyaman buat jalan kaki, aman buat bersepeda, dan nggak dikuasai mobil.
Pelajaran Buat Jakarta
Nah, pelajaran dari kisah-kisah tadi jelas: macet nggak bakal selesai dengan melebarin jalan, apalagi ngorbanin trotoar.
Sayangnya, di banyak kota besar Indonesia, resep lama masih dipakai: pelebaran jalan dianggap solusi instan. Padahal, transportasi publik kita baru mulai dibangun dan belum sepenuhnya bikin orang rela ninggalin kendaraan pribadi. Trotoar juga masih sering diperlakukan kayak “sisa lahan” yang bisa diutak-atik seenaknya.
Kalau mau serius keluar dari jerat macet, kita harus berani belajar: bikin transportasi publik yang bener-bener nyaman, batasi kendaraan pribadi, dan hormati hak pejalan kaki. Karena kota yang baik itu bukan kota yang bikin mobil melaju lebih cepat, tapi kota yang bikin warganya betah jalan kaki.(AR)
Komentar0