TpOlTfrpTSY5BUO8BSd8Tfr0Gi==

Pertumbuhan Ekonomi 5,12%: Angka di Atas Kertas, Krisis di Lapangan

            Ilustrasi (retizen Republika.com)

Oleh : Adjie Putra Wijaya
Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Paramadina

SATYABERITA - Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2025 sebesar 5,12% seolah memberikan optimisme di tengah gejolak global. Namun, alih-alih menjadi kabar baik, publik justru mempertanyakan keabsahan angka tersebut. Sebab, data makro ekonomi tidak boleh berhenti pada angka-angka yang indah di atas kertas, tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan secara empiris, sesuai dengan realitas sosial-ekonomi masyarakat.

Secara logika ekonomi, pertumbuhan positif biasanya lahir dari dorongan daya beli masyarakat, ekspansi produksi, investasi yang meningkat, atau lonjakan ekspor. Akan tetapi, kondisi faktual menunjukkan gejala sebaliknya: pemutusan hubungan kerja (PHK) meluas, daya beli masyarakat melemah, belanja negara menurun akibat efisiensi anggaran, dan tidak ada indikasi signifikan dari ekspor atau investasi yang dapat menjadi motor pertumbuhan. Pertanyaannya, dari mana datangnya angka 5,12% itu?

Kejanggalan inilah yang menimbulkan apa yang disebut sebagai anomali pertumbuhan ekonomi. Ketika data statistik menyajikan satu narasi, sementara pengalaman keseharian rakyat menyajikan narasi yang berbeda, maka kredibilitas lembaga penyedia data patut dipertanyakan. Apalagi, data BPS memiliki implikasi yang sangat strategis: ia menjadi dasar legitimasi bagi kebijakan pemerintah, dari pengelolaan fiskal hingga program bantuan sosial. Dengan demikian, apabila data yang dirilis keliru, maka kebijakan yang lahir darinya berpotensi salah sasaran dan bahkan kontraproduktif.

Lebih jauh, persoalan ini bukan hanya soal metodologi statistik, melainkan soal politik data. Angka pertumbuhan ekonomi seringkali dipakai sebagai simbol keberhasilan rezim, sehingga berisiko menjadi instrumen legitimasi, bukan lagi cerminan obyektif kondisi bangsa. Jika demikian, kita menghadapi krisis yang lebih dalam: hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi negara. Tidak mengherankan jika lembaga riset independen seperti CELIOS bahkan mendorong audit oleh lembaga internasional, suatu sinyal bahwa integritas statistik nasional sedang dipertaruhkan.

Di sinilah pentingnya kritik akademis dan diskursus publik. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh hanya dipahami sebagai peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Ia harus diukur secara lebih luas: melalui distribusi kesejahteraan, kualitas hidup, stabilitas ketenagakerjaan, hingga keadilan ekonomi. Pertumbuhan 5,12% yang tidak dirasakan oleh masyarakat luas hanyalah ilusi pertumbuhan—sebuah growth without welfare.

Oleh karena itu, kritik terhadap laporan BPS ini bukan semata perdebatan angka, melainkan perlawanan terhadap simplifikasi kesejahteraan. Kita perlu bertanya: pertumbuhan ekonomi untuk siapa? Untuk segelintir elite korporasi atau untuk mayoritas rakyat yang masih berjibaku dengan harga kebutuhan pokok?

Krisis data adalah krisis demokrasi. Tanpa transparansi, tanpa akuntabilitas, dan tanpa keberanian mengakui realitas, statistik hanya akan menjadi propaganda. Inilah saatnya mendorong BPS dan pemerintah membuka metodologi, memperluas indikator kesejahteraan, dan mengembalikan data kepada fungsi aslinya: sebagai cermin obyektif kehidupan bangsa, bukan sekadar kosmetika politik.(AR)

Komentar0

Type above and press Enter to search.