SATYABERITA — Nama Uus Kuswanto tengah mengemuka di Balai Kota. Wali Kota Administrasi Jakarta Barat itu disebut-sebut sebagai pengganti Marullah Matali untuk posisi Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta.
Di antara sejumlah nama yang beredar, Uus mencuri perhatian karena rekam jejaknya yang tak lazim dalam pola karier birokrasi Ibu Kota.
Uus bukan birokrat jalur cepat. Ia memulai pengabdian sebagai Aparatur Sipil Negara dari jenjang Diploma (D3) dengan pangkat II/b—level terendah dalam struktur PNS.
Kariernya tidak dibangun melalui lorong aman kantor pemerintahan, melainkan ditempa langsung di wilayah rawan konflik sosial.
Penempatan pertama Uus berada di Kelurahan Galur, Jakarta Pusat, pada 1995. Saat itu, Galur dikenal sebagai “kawasan merah”, lokasi tawuran yang oleh warga dijuluki “tawuran terjadwal”.
Di tengah kondisi sosial penuh gejolak itulah Uus menjalani fase paling keras dalam kariernya, mengendalikan konflik, memediasi ketegangan antarwarga, hingga bekerja jauh di luar jam kerja formal.
Dari Galur, Uus dipindahkan ke Senen, lalu rutin bergerak ke Johar Baru, Menteng, dan Kemayoran yang semuanya kawasan padat dengan tingkat tekanan sosial tinggi.
Perpindahan itu bukan bagian dari promosi bertahap, melainkan kebutuhan lapangan: siapa yang tahan banting, dialah yang diterjunkan.
Titik penting karier Uus terjadi pada masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Saat itu, ia menjadi birokrat yang kerap dikirim untuk situasi genting.
Dalam periode singkat, Uus dipindahkan empat kali ritme yang jarang dialami birokrat yang berada di zona nyaman.
Ia bukan pejabat yang “diangkat”, melainkan birokrat yang “digunakan” untuk meredakan krisis di mana pun dibutuhkan.
Selepas periode tersebut, Uus menapaki sejumlah jabatan strategis. Ia sempat memimpin Bagian Dikmental, unit yang mengurusi pembinaan mental, disiplin, dan kultur kerja aparatur posisi sensitif yang menuntut integritas dan stabilitas tinggi.
Beberapa kali pula ia dipercaya menjadi pejabat (Pj) di sejumlah posisi penting, memperkuat reputasinya sebagai figur yang lentur dalam tekanan.
Kini, ketika kursi Sekda DKI kembali kosong, nama Uus kembali mengapung. Bukan hanya karena restu politik, tetapi karena perjalanan panjangnya di lapangan yang jarang tercatat dalam brosur resmi birokrasi.
Apakah Uus Kuswanto ke posisi tertinggi birokrasi DKI? Keputusan akhir ada di tangan Gubernur dan mekanisme formal pemerintah daerah. Namun satu hal kini jelas: karier yang dimulai dari “kawasan merah” itu sedang menuju titik paling menentukan. (pot)
Komentar0